Pages

terjemahan

Saturday 10 March 2012

Karakteristik Kebutuhan Dasar Manusia


Manusia mempunyai kebutuhan dasar manusia (kebutuhan pokok) untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Walaupun setiap individu mempunyai karakteristik yang unik, kebutuhan dasarnya sama. Perbedaannya hanya dalam cara pemenuhan kebutuhan dasar tersebut.
Kebutuhan dasar manusia mempunyai banyak kategori atau jenis. Salah satunya ialah kebutuhan fisiologis (seperti oksigen, cairan, nutrisi, eliminasi, dan lain-lain) sebagai kebutuhan yang paling mendasar dalam jasmaniah. Namun, setiap manusia pada hakikatnya mempunyai dua macam kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan yang berbentuk materi dan nonmateri.

Karakteristik Kebutuhan Dasar Manusia

Untuk mengetahui kebutuhan dasar manusia, maka terdapat hal yang perlu diperhatikan oleh tiap perawat terkait dengan karakteristik kebutuhan dasar manusia. Karakteristik tersebut antara lain:
1. Manusia mempunyai kebutuhan dasar yang sama, walaupun setiap orang memiliki latar belakang sosial, budaya, persepsi, dan pengetahuan yang berbeda.
2. Umumnya pemenuhan kebutuhan dasar setiap manusia sesuai dengan tingkat prioritasnya. Kebutuhan dasar yang harus segera dipenuhi merupakan kebutuhan dasar dengan prioritas yang paling tinggi/utama.
3. Sebagian pemenuhan kebutuhan dasar dapat ditunda walaupun umumnya harus dipenuhi.
4. Kegagalan pemenuhan salah satu kebutuhan dasar dapat mengakibatkan kondisi yang tidak seimbang (disekulibrium) sehingga menyebabkan sakit.
5. Munculnya keinginan pemenuhan kebutuhan dasar dipengaruhi oleh stimulus internal maupun eksternal. Misalnya, kebutuhan untuk minum. Seseorang akan merasa haus selain disebabkan oleh kekurangan cairan pada tubuh, juga dapat dikarenakan melihat minuman yang segar di siang hari yang terik.
6. Berbagai kebutuhan dasar akan saling berhubungan dan berpengaruh pada manusia. Misalnya, kebutuhan makan akan diikuti dengan kebutuhan minum.
7. Ketika timbul keinginan terhadap suatu kebutuhan, maka individu akan berusaha untuk memenuhinya.

PERKEMBANGAN ULUMUL QUR’AN DARI MASA KE MASA

Pengertian Ulumul Qur’an

            Kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu Ulum dan Al Qur’an. Kata Ulum adalah bentuk jamak dari kata “ilm” yang berarti ilmu-ilmu. Pra ahli filsafat mendefinisikan kata ilmu sebagai suatu gambaran tentang sesuatu yang terdapat dalam akal. Sedangkan menurut imam Al Ghazali secara umum arti ilmu dalam istilah syara’ adalah ma’rifat terhadap Allah terhadap tanda-tanda kekuasan-Nya terhadap perbuatan-perbuata-Nya. Pada hamba-hamba-Nya dan makhluk-Nya. Jadi ilmu adalah mengetahui masalah-masalah yang telah dirumuskan dalam satu disiplin pengetahuan yang terdapat dalam akal pikiran, sehingga mengharuskan pemiliknya mampu membedakan sesuatu dari yang lain setelah jelas baginya sesuatu tersebut. Sedangkan Al Qur’an menurut ulama Syekh Al As Shabuni adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi dan Rosul penghabisan dengan perantara malaikat Jibril, tertulis dalam mushaf yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah yang dimulai dari Surah Al Fatihah dan diakhiri dengan surah An Nas. Setelah membahas kata ulum dan Al Qur’an yang terdapat dalam kalimat Ulumul Qur’an yang tersusun secara idhafi. Menurut Zarqani Ulumul Qur’an adalah bahasan-bahasan yang bertalian dengan Al Qur’an mulai dari segi turunnya, tata tertib atau urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya, tafsirnya, penolakannya mengenai tantangan-tantangan lawannya, nasikh mansukhnya menolak keragu-raguan tentang kebenarannya dan seumpamanya.
 

B. Perkembangan Ulumul Qur’an

1. Masa Rosulullah dan Sahabat
 
            Nabi Muhammad SAW dan para sahabat sangat mengetahui makna-makna Al Qur’an dan ilmu-ilmunya, sebagaimana pengetahuan para ulama sesudahnya. Bahkan makna dan ilmu-ilmu Al Qur’an tersebut pada masa Rosulullah dan sahabatnya itu belum tertulis atau dibukukan dan belum disusun dalam satu kitab. Sebab mereka tidak merasa perlu untuk menulis dan membukakan makna dari ilmu-ilmu Al Qur’an tersebut dalam suatu kitab
 
Hal itu disebabkan karena Rosulullah yang menerima wahyu dari sisi Allah juga mendapatkan rahmat-Nya yang merupakan jaminan dari Allah bahwa kalian pasti bisa mengumpulkan wahyu itu ke dalam dada beliau, dan Allah melancarkan lisan beliau ketika membacanya serta pandai untuk menjelaskan isi maksudnya. Allah SWT berfirman :

Artinya : janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.(QS. Al Qiyamah 16-19)
 

Setiap Rosulullah selesai menerima wahyu ayat Al Qur’an, beliau menyampaikan wahyu itu kepada para sahabatnya, sehingga mereka dapat membacanya dengan baik, menghafal lafal-lafalnya dan mampu memahami arti dan makna serta rahasia-rahasianya. Rosulullah SAW menjelaskan tafsiran-tafsiran ayat Al Qur’an kepada mereka dengan sabda, perbuatan dan persetujuan beliau serta dengan akhlak-akhlak dan sifat beliau.

Ilmu-ilmu Al Qur’an di masa Rosul dan para sahabat di sampaikan dari mulut ke mulut karena para sahabat terdiri dari orang-orang arab murni yang mempunyai beberapa keistimewaan antara lain :

a. Mempunyai daya hafalan yang kuat
 
b. Mempunyai otak yang cerdas
 
c. Mempunyai daya tangkap yang tajam
 
d. Mempunyai kemampuan bahasa yang luas terhadap segala macam bentuk ungkapan baik prosa, puisi maupun sajak-sajak.

Ketika pada masa pemerintahan Utsman, mulailah bangsa rab bergaul rapat dengan bangsa ajar. Ustman menyuruh para sahabat dan para umat untuk berpegang teguh kepada mushaf Al Imam dan supaya dari mushaf itulah di salin mushaf-mushaf yang dikirim ke kota-kota besar. Tindakan Ustman ini merupakan awal berkembangnya ilmu yang kemudian dinamakan Ilmu Rasmil Al Qur’an atau Rasmil Ustman, kemudian datanglah masa pemerintahan khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Beliau memperhatikan orang-orang asing yang suka menodai kemurnian bahasa arab, beliau mengkhawatirkan terjadinya kerusakan bahasa arab itu. Karena itu, beliau memerintahkan Abdul Aswad Ad Duali untuk membuat kaidah-kaidah guna memelihara kemurnian bahasa arab sebagai bahasa Al Qur’an dari permainan dan kerusakan orang-orang jahil. Dengan demikian, khalifah telah meletakkan dasar pertama terhadap ilmu, yang sekarang terkenal dengan nama Ilmu Nahwu atau Ilu I’robil Qur’an.

Setelah berakhirnya zaman Khalifah yang Empat, timbul zaman Bani Umayyah. Kegiatan para sahabat dan tabi'in terkenal dengan usaha-usaha mereka yang tertumpu pada penyebaran ilmu-ilmu Al-Qur'an melalui jalan periwayatan dan pengajaran, secara lisan bukan melalui tulisan atau catatan. Kegiatan-kegiat¬an ini dipandang sebagai persiapan bagi masa pembukuannya. Orang-orang yang paling berjasa dalam usaha periwayatan ini adalah Khalifah yang Empat, Ibn Abbas, Ibn Masud, Zaid Ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy'an, Abdullah Ibn al-Zubair dari kalang¬an sahabat. Sedangkan dari kalangan tabi'in ialah Mujahid, 'Atha, 'Ikrimah, Qatadah, Al-Hasan al-Bashri, Said Ibn Jubair, dan Zaid Ibn As!am di Madinah. Dari Aslam, ilmu ini diterima oleh putra¬nya Abd al-Rahman, Malik Ibn Anas dari generasi tabi'i al-tabi'in. Mereka ini semuanya dianggap sebagai peletak batu pertama bagi apa yang disebut ilmu tafsir, ilmu asbab al-nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu gharib al-Quran dan lainnya.

(Kemudian, Ulumul Qur'an memasuki masa pembukuan¬nya pada abad ke-2 H) Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada-ilmu tafsir karena fungsinya sebagai Umm al-Ulum al-Qurani’ah (Induk Ilmu-ilmu Al-Qur'an). Para penulis pertama dalam tafsir adalah Syu’bah Ibn al-Hajjaj, Sufyan Ibn 'Uyaynah dan Wali Ibn Al Jarrah. Kitab-kitab, tafsir mereka menghimpun pendapat-pendapat sahabat dan tabi'in.

Pada abad ke-3 menyusul tokoh tafsir Ibn Jarir al-Thabari. Al-Thabari adalah mufassir pertama membentangkan bagi berbagai pendapat dan mentarjih sebagiannya atas lainnya. Ia juga mengemukakan I’rab dan istinbath (penggalian hukum dari Al-Qur'an). Di abad ke-3 ini juga lahir ilmu asbab al-nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu tentang ayat-ayat Makkiah dan Madaniah. Guru Imam al-Bukhari, Ali Ibn al-Madaniyah. Guru Imam Al Bukhari, Ali Ibn Al Madini mengarang asbab al-nuzul; Abu 'Ubaid al-Qasim Ibn Salam mengarang tentang nasikh dan mansukh, qiraat dan

keutamaan-keutamaan Al-Qur'an; Muhammad Ibn Ayyub al ¬Dharis tentang ayat-ayat yang turun di Mekkah dan Madinah; Muhammad Ibn Khalaf Ibn al-Mirzaban .(w. 309 II.) mengarang kitab AI-Hawi fi-'Ulum al-Qur’an.

Di abad ke-4 lahir ilmu gharib al-Quran dan beberapa kitab 'Ulumul Qur'an. Di antara tokoh Ulumul Qur'an di masa ini ialah Abu Bakar Muhammad Ibn al-Qasim al-Anbari dengan kitabnya 'Ajaib 'Ulum al-Qur’an. Di dalam kitab ini Al ¬Anbari berbicara tentang keutamaan-keutamaan Al-Quran, turunnya atas tujuh huruf, penulisan mushhaf-mushhaf, jumlah surah, ayat, dan kata-kata Al-Qur'an. Abu al-Hasan-al-Asy'ari mengarang Al-Mukhtazan fi Ulum al-Quran; Abu Bakar al-Sijistani mengarang Gharib al-Qur’an; Abu Muhammad al-Qashshab Muhammad Ibn Ali al-Karkhi mengarang Nukat al-Qur’an al-Dallah ala al-Bayan fi Anwa' al-'Ulum wa al-Ahkam al-Munbiah 'an lkhtilaf al-Ana-m; dan Muhammad Ibn Ali al-Adfawi mengarang AI-Istighna' fi Ulum al-Qur’an.

Di abad ke-5 muncul pula beberapa tokoh dalam ilmu qiraat. Di antaranya ialah Ali Ibn Ibrahim Ibn Said al-Huffi mengarang Al-Burhan fi Ul-m al-Quran dan I’rob al ¬Qur’an . Abu Amr al-Dani menulis kitab Al-Taisir fi al ¬Qiraat al-Sab'i dan Al-Muhkam fi al-Nuqath. Dalam abad ini juga lahir ilmu amtsa1 al-Quran yang antara lain dikarang oleh Al ¬Mawardi.
 
Pada abad ke-6, di samping banyak ulama yang melanjutkan pengembangan ilmu-ilmu Al-Qur'an yang telah ada, lahir pula ilmu mubhamat al-Quran. Abu al-Qasim Abd al-Rahman al-Suhaili mengarang Mubhamat al-Quran. Ilmu ini menerangkan lafal-lafal Al-Qur'an yang maksudnya apa dan siapa tidak jelas. Ibn al-Jauzi menulis kitab Funun al-Afnan fi 'Ajaib al-Quran dan kitab Al-Mujtaba fi 'U1um Tata’allaq bi al ¬Quran.

Pada abad ke-7 Ibn Abd al-Salam yang terkenal dengan sebutan Al-'Izz mengarang kitab Majaz al-Quran. 'Alam al-Din al-Sakhawi mengarang tentang qiraat. la menulis kitab Hidayah al-Murtab fi al-Mutasydbih yang terke¬nal dengan nama Al-Sakhawiah. Abu Syamah Abd al-Rahman Ibn Ismail al-Maqdisi menulis kitab Al-Mursyid al-Wajiz fi ma Yata ‘allaq bi al-Quran al-'Aziz.

Pada abad ke-8 muncul beberapa ulama yang menyusun ilmu-ilmu baru. tentang Al-Qur'an. Sementara itu, penulisan kitab¬-kitab tentang ilmu-ilmu yang sebelumnya telah lahir terus ber¬langsung. Ibn Abi al-Ishba' menulis tentang badai Al-Quran. Ilmu ini membahas macam-macam keindahan bahasa dalam Al Qur’an. Ibn al-Qayyim. Ew. 752 H-.) menulis tentang aqsam dl¬Qurdn . 11mu ini membahas tentang sumpah-sumpah al-Quran. Najmuddin al-Thufi menulis tentang hujaj al-Quran. Ilmu ini membahas tentang bukti-bukti yang dipergunakan Al Qur'an dalam menetapkan suatu hukum. Abu Al Hasan al-Mawardi menyusun ilmu amtsal al-Quran. Ilmu ini membahas tentang perumpamaan-perumpamaan yang ada dalam Al-Qur'an. Kemudian Badruddin Al Zarkasyi menyusun kitabnya Al Burhan fi Ulum al-Quran.

Pada abad ke-9, muncul beberapa ulama melanjutkan perkembangan ilmu-ilmu Al-Qur’an.
 Jalaluddin Al Bulqini Menyusun kitabnya Mawaqi Al Ulum Min mawaqi Al Nujum. Menurut al-Suyuthi, Al-Buqini dipandang sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Qur'an yang lengkap. Sebab, dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu Al-Qur’an. Muhammad Ibn Sulaiman al-Kafiaji mengarang kitab Al-Tafsir fi Qawaid Al tafsir. Di dalamnya juga diterangkan tentang makna tafsir, takwil, Al-Qur'an, surah dan ayat. Didalamnya juga diterangkan tentang syarat-syarat menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Jalaluddin al-Suyuthi menulis kitab Al tahbir fi Ulum Al-Tafsir. Penulisan kitab ini selesai pada tahun 873 H. Kitab ini memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur'an. Karena itu, menurut sebagian ulama, kitab ini dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an yang paling lengkap. Namun, Al Suyuthi belum terasa puas dengan karya yang monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab Al-Itqan fi 'Ulum al-Quran. Didalamnya dibahas 80 macam ilmu-ilmu Al-Quran secara padat dan sistematis. Menurut Al Zarqani kitab ini merupakan kitab pegangan bagi para peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Setelah wafatnya Imam Al-Suyuthi pada tahan 991 H seolah-olah perkembangan karang-mengarang dalam Ulumul Qur'an telah mencapai puncaknya sehingga tidak terlihat munculnya penulis yang memiliki kemampuan seperti kemampuannya. Keadaan seperti ini dapat terjadi sebagai akibat meluasnya sikap taklid, yang dalam sejarah perkembangan ilmu¬-ilmu agama umumnya mulai berlangsung setelah masa al-Suyuthi.

Kondisi yang demikian berlangsung sejak wafatnya Imam Al Suyuthi hingga akhir abad ke-13 H.

Sejak penghujung abad ke-13 H. sampai saat ini perhatian para, ulama terhadap penyusunan kitab-kitab Ulumul Quran bangkit kembali. Kebangkitan kembali perhatian terhadap Ulumul Qur'an ini bersamaan dengan masa kebangkitan modem dalam perkembangan ilmu-ilmu agama lainnya. Di antara ulama yang menulis tentang Ulumul Qur'an di abad ini ialah Syeikh Thahir al-Jazairi dengan kitabnya Al-Tibyan 1i Ba'dh al Mabahits al-Muta'alliqah bi Al-Quran. Muhammad Jamaluddin al Qasimi menulis kitab Mahasin al-Takwil. Jihad pertama dari kitab in dikasuskan bagi pembahasan Ulumul Qur’an. Muhammad abd Al A’zim al Zarqani menyusun Manahil al-Irfan fi 'Ulum al Qur’an. Muhammad Ali Salamah menulis Manhaj al-Furqan fi 'Ulum al-Quran. Syeikh Thanthawi Jauhari mengarang Al Jawahir Fi Tafsir al-Quran al-Karim. Mushthafa Shadiq al-Rafi'i me¬nulis I’jaz al-Quran. Sayyid Quthub menulis Al-Thashwir alfanni fi Al-Quran dan Fi Zilal al-Quran. Malik Ibn Nabi menulis Al-Zawahir al-Qur'aniah. Kitab ini memuat pembahasan yang baik sekali dalam banyak persoalan Ulumul Qur'an Muhammad Rasyid juga tidak ketinggalan memasukkan pemba¬hasan-pembahasan Ulumul Qur'an dalam tafsimya Tafsir al¬ Quran al-Karim yang terkenal dengan sebutan Tafsir al-Manar. Syekh Abd al-Aziz al-Khuli menulis kitabnNya berjudul Al-Quran al-Karim: Washfuh, Atsaruh, Hidayatuh, wai’jazuh. Muhammad al-Ghazali menulis kitab, Nazarat ft al-Quran, Muhammad Abdullah Daraz menulis Al-Nabau al-Azim. Di samping itu masih banyak lagi buku-buku yang menyangkut Ulumul Qur'an, baik yang berbahasa Arab, seperti kitab Mabahits fi 'Ulum al¬ Quran karya Shubhi al-Shalih dan 'Ulum al-Quran al-Karim karya Abd al-Mun'im al-Namir, maupun dalam Bahasa Indonesia, seperti Ilmu-ilmu Al-Qur'an karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Tafsir karya Rif’at Syauki Nawawi dan Ali Hasan, dan yang baru terbit buku berjudul Membumikan Al-Qur'an karya ahli tafsir Indonesia M. Quraisy Shihab. Bagian pertama dari buku terakhir ini banyak berbicara tentang Ilmu Al Qur’an atau lebih tepatnya Ilmu Tafsir yang merupakan bagian dari bahasan Ulumul Qur’an.




BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
           
Ulumul Qur’an adalah suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas, meliputi semua ilmu yang ada kaitannya dengan Al Qur’an, baik berupa ilmu agama misalnya Ilmu Tafsir.
Perkembangan Ulumul Qur’an melalui masa-masa yang panjang, dari masa Rosulullah hingga sampai saat sekarang yang banyak melahirkan kitab-kitab Ulumul Qur’an, di antaranya Al Tibyan Liba’dh Al Mabahits Al Muta’aliqah Bi Al Qur’an karangan Syeikh Thahir Al Jazairi, Kitab Al Zawahir Al Qur’aniyah karangan Malik Ibn Nabi dan lain-lain.

           
 
           


DAFTAR PUSTAKA
 

Abdul Djalal, Ulumul Qur’an. Surabaya : Dunia Ilmu, 2008

Fahd Bin Abdurrahman Ar Rumi. Ulumul Qur’an. Yogyakarta : Titian Ilahi Press, 1997
 

H. Ramli Abdul Wahib. Ulumul Qur’an. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 1993


M. Kahar Masyhur. Pokok-Pokok Ulumul Qur’an. Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1992.


Teungku M Hasbi Ash Shiddieqy. Ilmu-Ilmu Al Qur’an, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra. 2002.

AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM


A.    Devinisi Alqur’an
a)      Pengertian Al-Qur’an
Dalam  pengertian mengenai Al-Qur’an dapat ditinjau dari dua aspek, sebagai berikut:
1)      Aspek Etimologis
Makna kata Qur’an adalah sinonim dengan Qira’ah dan keduanya berasal dari kata Qara’a. dari segi makna, lafal Qur’an bermakna bacaan. Kajian yang dilakukan oleh Dr. Subhi Saleh menghasilkan suatu kesimpulan bahwa al-Qur’an dilihat dari sisi bahasa berarti bacaan. adalah merupakan suatu pendapat yang paling mendekati kebenaran[1].
Arti inilah disebut dalam firman Allah berikut ini:
إِنَّ عَلَيْنَاجَمْعَهُ وَ قُرْانهُ فَاِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْانهُ   
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan kami lah mengumpulkan nya (al-Qur’an) di dadamu dan membuatmu pandai membaca. Maka bila kami telah selesai membacakan nya ikutilah bacaan tersebut” (al-Qiyamah: 17-18).[2]
2)      Aspek Terminologi
Al-Khudari memberikan definisi bahwa al-kitab adalah al-Qur’an yaitu lafal bahasa Arab yang diturunkan pada Muhammad untuk dipelajari dan diingat, yang dinukil secara mutawatir, termaktub diantara dua sisi awal dan akhir, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.[3]
As-Shabuni mengemukakan dalam At-Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, al-Qur’an adalah firman Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan pada Nabi terakhir ditulis dalam beberapa mushaf, bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.[4]
Dr. Subhi Saleh menegaskan bahwa al-Qur’an dengan sebutan apapun adalah firman Allah yang mengandung mu’jizat diturunkan pada Muhammad saw ditulis dalam beberapa mushaf serta bersifat mutawatir dan bernilai ibadah jika dibaca.[5]
Dari definisi ini, para ulama’ ushul fiqh menyimpulkan ciri-ciri khas al-qur’an, sebagai berikut:
1.      al-qur’an merupakan kalam allahyang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW.
2.      Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab Quraisy.
3.      al-qur’an tidak dinukilkan  kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawatir (dituturkan oleh orang banyak kepada orang banyak sampai sekarang. Mereka itu tidak mungkin sepakat untuk berdusta), tanpa perubahan dan penggantian satu kata pun.
4.      membaca setiap kata dalam al-qur’an itu mendapat pahala dari allah, baik bacaan itu berasal dari hafalan sendiri maupun dibaca langsung dari mushaf al-qur’an.
5.      ciri terakhir dari al-qur’an yang dianggap sebagai suatu kehati-hatian bagi para ulama untuk membedakan al-qur’an dengan kitab-kitab lainnya adalah bahwa al-qur’an itu dimulai dari surat al-fatihah dan di akhiri dengan surat al-nas.[6] 


B.     Perbedaan Al-Qur’an , Hadits Qudsi Dan Hadits Nabawi
-        Perbedaan Antara Hadits Qudsi dengan Al-Qur’an
Qudsi menurut bahasa dinisbatkan pada “Qudus” yang artinya suci.Yaitu sebuah penisbatan yang menunjukkan adanya pengagungan dan pemuliaan, atau penyandaran kepada Dzat Allah Yang Maha Suci.
Sedangkan Hadits Qudsi menurut istilah adalah apa yang disandarkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dari perkataan-perkataan beliau kepada Allah ta’ala.
Ada beberapa perbedaan antara keduanya, di antaranya:
1.      Al-Qur’an itu lafadh dan maknanya dari Allah, sedangkan hadits qudsi maknanya dari Allah dan lafadhnya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
2.      Membaca Al-Qur’an termasuk ibadah dan mendapatkan pahala, sedangkan membaca hadits qudsi bukanlah termasuk ibadah dan tidak mendapat pahala.
3.       Disyaratkan mutawatir dalam periwayatan Al-Qur’an, sedangkan dalam hadits qudsi tidak disyaratkan mutawatir.
-        Perbedaan Antara Hadits Qudsi Dan Hadits Nabawi
1.       Hadits Qudsi maknanya dari Allah dan lafadhnya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan hadits nabawi makna dan lafadznya dari Rosulullah.
Sekalipun al-Qur'an dan as-Sunnah/al-Hadits sebagai sumber hukum Islam  namun di antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain:
a.       al-Qur'an nilai kebenarannya adalah qath'i (absolut), sedangkan al-Hadits adalah zhanni (kecuali hadits mutawatir).
b.      Seluruh ayat al-Qur'an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup, tetapi tidak semua hadits kita jadikan sebagai pedoman hidup. Sebab di samping ada sunnah yang tasyri' ada juga sunnah yang ghairu tasyri'. Di samping ada hadits yang shahih (kuat) ada pula hadits yang dha'if (lemah),dan seterusnya.
c.       Al-Qur'an sudah pasti otentik lafazh dan maknanya, sedangkan hadits tidak.
d.      Apabila al-Qur'an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib maka setiap Muslim wajib mengimaninya, tetapi tidak demikian apabila masalah-masalah tersebut diungkapkan oleh hadits (ada yang wajib diimani dan ada yang tidak).
C.    Menetapkan Hukum Dari Qori’ah Syadzdzah
Jika dipandang dari segi hokum, cara menetapkannya terdapat perbedaan ulama’. Ulama’ hanafiyah dan hanabilah mengatakan bahwa qira’ah al-syadzdzaah bias di jadikan hujjah yang bersifat dzanni (relative), apabila diketahui bahwa bacaan itu pernah didengar dari rasullullah SAW., karena hal tersebut termasuk sunnah. Sedangkan menurut ulama’ malikiyah dan syafi’iyyah qira’ah al-syadzdzah tidak dapat dijadikan hujjah, karena bacaan itu tidak termasuk al-qur’an dan tidak mutawattir. Menurut mereka, qira’ah al-syadzdzah itu juga tidak bias dimasukkan sebagai sunnah, karena tidak ada satu riwayat pun yang meriwayatkan itu.
D.    Alqur’an Sebagai Sumber Hukum
a)      Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum
Al-qur’an adalah sumber hukum yang utama dalam Islam, sebagaimana dalam firman Allah:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَاُوْلئك هُمُ الكَفِرُوْنَ
Artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al-Maidah: 44).[7]
ayat ini menegaskan kepada kita untuk selalu berpegang teguh pada al-qur’an dan hadis sebagai dasar dan sumber hukum-hukum islam dan melarang kita untuk menetapkan suatu perkara yang tidak sesuai dengan al-qur’an dan hadis serta dilarang untuk mendurhakai allah dan rasul-Nya.
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang bahwa al-Qur’an adalah sebagai sumber hukum, seperti surat an-Nahl: 89, Ibrahim:1 dan Shad: 1.
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ اَلكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَئٍ وَ هُدًى وَ رَحْمَةً وَ بُشْرَى لِلْمُسْلِمِيْنَ
Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Al-kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS. An-Nahl: 89).
تَبَارَكَ الَّذِى نَزَّلَ الفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُوْنَ لِلْعَالَمِيْنَ نَذِيْرًا

Artinya: Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. (QS. Al- Furqan:1).[8]
b)      Sistematika Hukum Dalam Al-Qur’an
Sebagai sumber hukum yang utama, maka al-Qur’an memuat sisi-sisi hukum yang mencakup berbagai bidang. Secara garis besar al-qur’an memuat tiga sisi pokok hukum yaitu:
1)      Hukum-hukum I’tiqodi, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan akidah dan kepercayaan
2)      Hukum-hukum Akhlak, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku, budi pekerti.
3)      Hukum-hukum Amaliyah, yaitu: hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf, baik mengenai ibadat atau adat, mu’amalah madaniyah dan maliyahnya, ahwalusy syakhshiyah, jinayat dan uqubat, dusturiyah dan dauliyah, jihad dan lain sebagainya.
Segi hukum inilah yang lazimnya disebut dengan fiqh al-Qur’an dan itulah yang dicapai dan dikembangkan oleh ilmu ushul al-Fiqh.[9]
E.     Kehujjahan Al-Qur’an
Para ulama’ ushul fiqh dan lainnya sepakat menyatakan bahwa al-qur’an itu merupakan sumber utama hokum  islam yang diturunkan allah dan wajib diamalkan, dan seorang mujtahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai hujah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat al-qur’an. Apabila hokum permasalahan yang dia cari tidak ditemukan dalam al-qur’an, maka barulah mujtahid tersebut menggunakan dalil lain. Ada beberapa alas an yang dikemukakan ulama’ ushul fiqh tentang kewajiban berhujjah dengan al-qur’an, diantaranya adalah:
a)      Al-Qur’an itu diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Diketahui secara mutawatir, dan ini memberikan keyakinan bahwa al-qur’an itu benar-benar dating dari allah melalui malaikat jibril kepada nabi Muhammad SAW.
b)      .Banyak ayat yang menyatakan bahwa al-qur’an itu datang dari allah.
c)      Mukjizat Al-Qur’an itu merupakan dalil yang pasti akan kebenaran al-qur’an itu datangnya dari Allah SWT. Mukjizat Al-Qur’an bertujuan untuk menjelaskan kebenaran dari nabi Muhammad saw.[10]
       I.            KESIMPULAN
Al-qur’an adalah sumber hukum yang utama dalam Islam, Al-Qur’an secara  Etimologi bermakna bacaan. Sedangan secara Terminologi adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril.
Perbedaan Al-Qur’an Dan As-Sunnah
-        al-Qur'an nilai kebenarannya adalah qath'i (absolut), sedangkan al-Hadits adalah zhanni (kecuali hadits mutawatir).
-        Seluruh ayat al-Qur'an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup, tetapi tidak semua hadits kita jadikan sebagai pedoman hidup. Sebab di samping ada sunnah yang tasyri' ada juga sunnah yang ghairu tasyri'. Di samping ada hadits yang shahih (kuat) ada pula hadits yang dha'if (lemah),dan seterusnya.
-        Al-Qur'an sudah pasti otentik lafazh dan maknanya, sedangkan hadits tidak.
-        Apabila al-Qur'an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib maka setiap Muslim wajib mengimaninya, tetapi tidak demikian apabila masalah-masalah tersebut diungkapkan oleh hadits (ada yang wajib diimani dan ada yang tidak).
    II.            PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.

DAFTAR PUSTAKA
As-Shabuni, M. Ali, Al- Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Arshad, Beirut,
Efendi, Nur Ma’mun, Konsep Fiqh Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadits, Semarang: Bima Sejati. 2006,
Drs. H. nasrun haroen, M.A, ushul fiqh jilid 1,Jakarta.
Saleh, Subhi, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an. Muassasah Ar-Risalah, Mesir, 1404H.
Ibid
Al-Qur’an Al-Kariim, Menara Kudus
Al-Qur’an Al-Kariim Dan Terjemah Bahasa Indonesia, Menara Kudus


[1] Subhi Saleh, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an. Muassasah Ar-Risalah, Mesir, 1404H. hlm. 19
[2] Al-Qur’an terjemah bahasa Indonesia, menara kudus, hlm.577
[3] Muhammad Al-Khudori
[4] M. Ali As-Shabuni, Al- Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Arshad, Beirut, hal. 10
[5] Subhi Saleh, Mabahis Fi Ulum Al-Qur’an. Muassasah Ar-Risalah, Mesir, 1404H.
[6] Drs. H. nasrun haroen, M.A, ushul fiqh jilid 1,Jakarta.
[7] Terjemah Al-Qur’an Al-Karim, Menara Kudus, hlm.115
[8] H. Ma’mun Efendi Nur, Konsep Fiqh Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadits, Semarang: Bima Sejati. 2006, hlm. 15.
[9] Ibid, hlm. 23-24
[10] Drs. H. nasrun haroen, M.A, ushul fiqh jilid 1,Jakarta, hal. 24