Kaum muda
sebagai aset yang sangat berharga bagi kelangsungan hidup dimasa mendatang
sudah seharusnya dibina dengan seapik mungkin guna mencetak pribadi-pribadi
berkualitas yang mampu membangun negeri ini menuju cita-cita bersama ke arah
yang lebih baik. Dan sudah semestinya pula pembinaan bibit-bibit bangsa ini
dibarengi dengan pendidikan moral yang terstruktur rapi serta bertahap pada
setiap jenjangnya. Kata “moral” disinyalir jelas sangat mempengaruhi cara
pandang berfikir seseorang dalam bertindak menjalankan rutinitas aktivitasnya. Dengan
moral yang tertanam dalam karakter pribadi manusia, nantinya akan menuntunnya
kemana sehari-hari ia akan melangkah, apakah cenderung pada perbuatan yang
bernilai manfaat atau sebaliknya hanya membiarkan waktu terbuang sia-sia. Karena
ketika seseorang sudah tidak bermoral, sangat dikhawatirkan dia akan bertindak
semena-mena, melupakan semua hal yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.
Terlebih-lebih
di zaman sekarang ini, dimana segenap luapan gemerlap kemajuaan teknologi dan
ilmu pengetahuan yang sudah tidak terbendung lagi berakibat pada banyaknya para
generasi muda yang tidak mampu menahan diri dari serangan virus-virus negatif
yang terus saja bermunculan, seperti misalkan derasnya kecenderungan akan
barang-barang narkotika, dunia musik, dunia satelit/internet ,kebiasaan
merokok, pacaran atau bahkan pergaulan bebas yang perlahan tapi pasti
mulai mencabik-cabik moral kaum muda yang berdampak pada terbuainya mereka
dengan kesibukan-kesibukan tiada bermanfaat yang kemudian justru memandulkan
atau mematikan kreativitas daripada jiwa-jiwa muda. Maka dari itu, berdasar
pada fenomena yang kerap terjadi, perlu kiranya digarisbawahi bahwa ialah
sangat perlu untuk dilakukan perbaikan moral para generasi muda saat ini,
kembali ke jalan yang benar, kembali mengikuti norma-norma yang berlaku maupun
ajaran agama yang disyariatkan agar sekiranya mereka dapat menemukan titik kesadaran
dalam hidup mereka sehingga mereka mengetahui arah dan tujuan yang sebenarnya
harus ditempuh. Mungkin kita juga harus banyak belajar dari orang-oarang
terdahulu yang bermula dari ketangguhan moral yang dimilikinya mampu
mengantarkan dirinya sebagai pribadi dengan disiplin tinggi, memiliki visi
& misi yang jelas, serta tekad kuat untuk mencapai yang terbaik akibat
telah melekatnya kesadaraan akan melaksanakan tanggung jawab. Perbaikan moral
juga sangat ditentukan dari peranan orang tua, keluarga, orang terdekat serta
lingkungan yang mendukung yang dapat memberi contoh teladan terhadap generasi
muda untuk mengarahkan cara bersikap yang sepatutnya ditiru. Jika di setiap
pribadi generasi muda telah diproteksi dengan kecakapan bermoral yang
terdidik dan berkualitas serta dipadu dengan keteguhan Imtaq (iman dan taqwa)
yang konsisten, maka jelas nantinya yang terbetik dalam hati pemuda tersebut
ialah pikiran memenuhi setiap tanggung jawab buah hasil keinsyafan yang
telah terpaku dalam benak perasaan dan pemikirannya, sebagai amanah yang wajib
diemban bagi setiap jiwa muda.Dan juga sekeras apapun sinyal-sinyal/pengaruh
negatif yang ditujukan khususnya kepada mereka, niscaya sinyal negatif tersebut
sedikitpun tak akan mampu menggoyahkan tekad kuat atas cita-cita yang telah
diikrarkan sebelumnya, perumpamaannya tak lain seperti tegarnya bebatuan
karang dipinggir pantai yang takkan goyang (tak bergerak) sedikitpun ketika
harus diterjang arus ombak yang amat keras nan bertubi-tubi. Dapat kita rangkum
bahwa kehadiran generasi muda dengan kesadaran diri untuk membangun ketangguhan
moral inilah yang akan memberikan cahaya terang, sinar harapan yang menjamin
masa depan bangsa menuju kehidupan lebih baik demi melahirkan karakter-karakter
pribadi pemuda berkualitas yang mampu menjawab segala tantangan dikemudian hari
dalam upaya mewujudkan ketahanan nasional.
Kesadarian dan tanggung jawab merupakan bagian
penting dalam tata kehidupan sosial kemasyarakatan maupun dalam berbangsa dan
bernegara. Kesadaran ini merupakan strata tertinggi dari moralitas kemanusiaan
dalam kehidupan bersama sebagainya mahkluk sosial. Hidup bersama di tingkat
keluarga, komunitas, institusi, masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan
kesepakatan yang mampu menata kehidupan sosial yang sesuai dengan konteksnya.
Kesepakatan yang dibuat tidak akan ada manfaatnya jika tidak ada yang
mentaatinya. Ketaatan akan kesepakatan merupakan wujud dari katekutan maupun
kesadaran dan tanggung jawab. Ketaatan karena kesadaran dan tanggung jawab
merupakan bentuk penghormatan tertinggi akan nilai-nilai kemanusiaan. Kerelaan
untuk mentaati adalah suatu pengorbanan atas kepentingannya dan merupakan
empati bahkan sebagainya wujud solidaritas sosial. Kesadaran dan tanggung jawab
ini merupakan buah dari pendidikan. Segala sesuatu ada karena dimengerti
(filsuf Berkley). Adanya kesadaran dan tanggung jawab karena mempunyai
pengertian atau karena dipahami. Bagaimana bisa memahami? Dari pendidikan.
Pendidikan seperti apa? Pendidikan yang mampu memberikan transformasi, bukan
yang sifatnya menghafal. Menghafal
adalah cara pendidikan untuk binatang sirkus atau anjing-anjing pelacak yang
tidak mampu mengembangkan apa yang dipelajarinya karena hanya itu kemampuannya.
Model pembelajaran seperti ini bukan pembelajaran yang transformatif.
Pembelajaran yang tidak transformatif menimbulkan keterpaksaan dan ketakutan
adanya tekanan. Akibatnya, yang belajar pun dipenuhi oleh kemunafikan,
kepura-puraan, dan kepalsuan sehingga yang dilakukan bisa bertentangan dengan
hati nuraninya. Apabila ini yang terjadi, cepat atau lambat, akar-akar
penunjang kehidupan sosial akan putus dan perlahan-lahan roboh.
Pertanyaanya, “Bagaimana membangun kesadaran dan tanggung jawab?” Membangun kesadaran dan tanggung jawab warga masyarakat merupakan tanggung jawab para penyelnggara kehidupan sosial dari level keluarga hingga negara. Mereka harus menghasilkan kesadaran dan tanggung jawab karena tanpa itu akan hancur berantakan karena yang dihasilkan adalah komplain, keterpaksaan, ketakutan, kepura-puraan, bahkan penghianatan. Kesadaran dan tanggung jawab juga merupakan produk dari kecintaan, perhatian, empati, pemberian kepercayaan, dan keteladanan. Yang dididik mampu menyentuh hal-hal yang hakiki dalam hati nurani manusia sehingga kesadaran merupakan respon dari apa yang diperolehnya. Sealain itu, yang tak kalah penting adalah infrastruktur pendukung yang memberikan ruang gerak bagi tumbuh dan berkembangnya suatu kesadaran dan tanggung jawab. Infrastruktur itu mampu memanusiakan manusia. Pembangunan infrastruktur yang tidak memenuhi standar kemanusiaan akan berdampak sebaliknya; terjadi pelanggaran, perlawanan, pengrusakan, pengabaian, bahkan pelecehan.
Pertanyaanya, “Bagaimana membangun kesadaran dan tanggung jawab?” Membangun kesadaran dan tanggung jawab warga masyarakat merupakan tanggung jawab para penyelnggara kehidupan sosial dari level keluarga hingga negara. Mereka harus menghasilkan kesadaran dan tanggung jawab karena tanpa itu akan hancur berantakan karena yang dihasilkan adalah komplain, keterpaksaan, ketakutan, kepura-puraan, bahkan penghianatan. Kesadaran dan tanggung jawab juga merupakan produk dari kecintaan, perhatian, empati, pemberian kepercayaan, dan keteladanan. Yang dididik mampu menyentuh hal-hal yang hakiki dalam hati nurani manusia sehingga kesadaran merupakan respon dari apa yang diperolehnya. Sealain itu, yang tak kalah penting adalah infrastruktur pendukung yang memberikan ruang gerak bagi tumbuh dan berkembangnya suatu kesadaran dan tanggung jawab. Infrastruktur itu mampu memanusiakan manusia. Pembangunan infrastruktur yang tidak memenuhi standar kemanusiaan akan berdampak sebaliknya; terjadi pelanggaran, perlawanan, pengrusakan, pengabaian, bahkan pelecehan.
Pendukung lai dalam membangun kesadarian dan
tanggung jawab adalah penegakkan hukum. Penegakkan hukum merupakan pilar utama
dari pembangunan peradaban karena meminta pertanggungjawaban atas perbuatan
yang kontraproduktif dengan menjatuhkan sanksi, baik berupa kurungan ataupun
denda. Penegakkan hukum merupakan bagian utama dalam mengangkat harkat dan
martabat manusia. Tentu, penegakan hukum menjadi salah satu bagian yang
transformatif dan edukatif. Penyimpangan dan penyalahgunaan dalam penegakkan
hukum akan berdampak pada rusaknya suatu peradaban. Ketidakberadaban menjadikan
citra dan harga diri dipandang sebelah mata, bahkan dianggap tidak ada. Mengapa
demikian? Ya, karena keberadaanya tidak berguna. Ia hanya akan menjadi benalu,
bahkan memalukan.
Edukasi, infrastruktur, penegakkan hukum merupakan
satu kesatuan yang secara simultan dibangun bersama untuk saling mendukung dan
melengkapi. Ketiganya merupakam sistem.yang mempunyai standardisasi baik untuk
masukan, proses, maupun keluarannya.
Kesadaran dan tanggung jawab merupakan dampak atau
produk dari edukasi dan pembangunan infrastruktur penegakkan hukum yang
transformatif sekaligus merupakan produk kinerja para penyelenggara kehidupan
sosial dari tingkat keluarga hingga negara yang mampu menunjukan adanya: (1) kebijaksanaan,
(2)
empati,
(3)
kecintaan,
(4)
ketulusan,
(5)
pengorbanan,
(6)
keteladanan,
(7)
kecerdasan,
(8)
wawasan yang luas,
(8)
empowering,
(9)
integritas, dan
(10)
komitmen.
Semua itu merupakan bentuk dari kesadarian dan
tanggungjawbnya atas amanah yang dipercayakan kepadanya. Kemampuan memanusiakan
manusia ini terwujud dari adanya kesadarian dan tanggung jawab yang akan
menganggkat harkat dan martabat manusia, citra, dan harga diri.
A. PENGERTIAN TANGGUNG JAWAB.
Tanggung
jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah, keadaan wajib menanggung
segala sesuatunya.Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku
atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Tangung jawab
juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.
B.
MACAM-MACAM TANGGUNG JAWAB.
(a) Tanggung jawab terhadap diri
sendiri.
Tanggug jawab terhadap diri sendiri menuntut kesadaran setiap orang untuk memenuhi kewajibannya sendiri dalam mengembangkan kepribadian sebagai manusia pribadi.
Tanggug jawab terhadap diri sendiri menuntut kesadaran setiap orang untuk memenuhi kewajibannya sendiri dalam mengembangkan kepribadian sebagai manusia pribadi.
(b) Tanggung jawab terhadap keluarga.
Keluarga merupakan masyarakat kecil. Keluarga terdiri dari suami-istri, ayah-ibu dan anak-anak, dan juga orang lain yang menjadi anggota keluarga. Tiap anggota keluarga wajib bertanggung jawab kepada keluarganya. Tanggung jawab ini menyangkut nama baik keluarga. Tetapi tanggung jawab juga merupakan kesejahteraan, keselamatan, pendidikan, dan kehidupan.
Keluarga merupakan masyarakat kecil. Keluarga terdiri dari suami-istri, ayah-ibu dan anak-anak, dan juga orang lain yang menjadi anggota keluarga. Tiap anggota keluarga wajib bertanggung jawab kepada keluarganya. Tanggung jawab ini menyangkut nama baik keluarga. Tetapi tanggung jawab juga merupakan kesejahteraan, keselamatan, pendidikan, dan kehidupan.
(c) Tanggung jawab terhadap
Masyarakat.
Pada hakekatnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia lain, sesuai dengan kedudukannya sebagai mahluk sosial.
Pada hakekatnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia lain, sesuai dengan kedudukannya sebagai mahluk sosial.
(d) Tanggung jawab kepada Bangsa /
Negara.
Suatu kenyataan lagi, bahwa tiap manusia, tiap individu adalah warga negara suatu negara. Dalam berpikir, berbuat, bertindak, bertingkah laku manusia terikat oleh norma-norma atau ukuran-ukuran yang dibuat oleh tuhan.
Suatu kenyataan lagi, bahwa tiap manusia, tiap individu adalah warga negara suatu negara. Dalam berpikir, berbuat, bertindak, bertingkah laku manusia terikat oleh norma-norma atau ukuran-ukuran yang dibuat oleh tuhan.
(e) Tanggung jawab terhadap Tuhan
Tuhan menciptakan manusia di bumi ini bukanlah tanpa tanggung jawab, melainkan untuk mengisi kehidupannya manusia mempunyai tanggung jawab langsang terhadap Tuhan. Sehingga tindakan manusia tidak bisa lepas dari hukuman-hukuman Tuhan yang dituangkan dalam berbagai kitab suci melalui berbagai macam agama.
Tuhan menciptakan manusia di bumi ini bukanlah tanpa tanggung jawab, melainkan untuk mengisi kehidupannya manusia mempunyai tanggung jawab langsang terhadap Tuhan. Sehingga tindakan manusia tidak bisa lepas dari hukuman-hukuman Tuhan yang dituangkan dalam berbagai kitab suci melalui berbagai macam agama.
Ada
beberapa cara yang dapat diterapkan untuk mendidik anak sejak usia dini agar
menjadi anak yang bertanggung jawab, sebagaimana Charles Schaeffer, Ph.D.
mengutip apa yang pernah dikemukakan oleh Dr. Carlotta De Lerma, tentang
prinsip-prinsip penting yang harus dilakukan untuk membantu anak bertanggung
jawab.
1. Memberi
teladan yang baik.
Dalam
mengajarkan tanggung jawab kepada anak, akan lebih berhasil dengan memberikan
suatu teladan yang baik. Cara ini mengajarkan kepada anak bukan saja apa yang
harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya, akan tetapi juga bagaimana
orangtua melakukan tugas semacam itu.
2. Tetap
dalam pendirian dan teguh dalam prinsip.
Dalam hal
melakukan pekerjaan, orangtua harus melihat apakah anak melakukannya dengan
segenap hati dan tekun. Sangat penting bagi orangtua untuk memberikan suatu
perhatian pada tugas yang tengah dilakukan oleh si anak. Janganlah sekali-kali
kita menunjukkan secara langsung tentang kesalahan-kesalahan anak, tetapi
nyatakanlah bagaimana cara memperbaiki kesalahan tersebut. Dengan demikian
orantua tetap dalam pendirian, dan teguh dalam prinsip untuk menanamkan rasa
tanggung jawab kepada anaknya.
3. Memberi
anjuran atau perintah hendaknya jelas dan terperinci.
Orangtua
dalam memberi perintah ataupun anjuran, hendaklah diucapkan atau disampaikan
dengan cukup jelas dan terperinci agar anak mengerti dalam melakukan tugas yang
dibebankan kepadanya.
4. Memberi
ganjaran atas kesalahan.
Orangtua
hendaknya tetap memberi perhatian kepada setiap pekerjaan anak yang telah
dilakukannya sesuai dengan kemampuannya. Tidak patut mencela pekerjaan anak
yang tidak diselesaikannya. Kalau ternyata anak belum dapat menyelesaikan
pekerjaannya saat itu, anjurkanlah untuk dapat melakukan atau melanjutkannya
besok hari. Dengan memberikan suatu pujian atau penghargaan, akan membuat anak
tetap berkeinginan menyelesaikan pekerjaan itu. Seringkali orangtua senang
menjatuhkan suatu hukuman kepada anak yang tidak berhasil menyelesaikan
tugasnya. Andaikan memungkinkan lebih baik memberikan ganjaran atas kesalahan
dan tidak semata-mata mempermasalahkannya.
5. Jangan
terlalu banyak menuntut.
Orangtua
selayaknya tidak patut terlalu banyak menuntut dari anak, sehingga dengan
sewenang-wenang memberi tanggung jawab yang tidak sesuai dengan kemampuannya.
Berikanlah tanggung jawab itu setahap demi setahap, agar si anak dapat
menyanggupi dan menyenangi pekerjaan itu.
Suatu
kebiasaan yang keliru pada orangtua dalam hal mendidik anak, adalah bahwa
mereka seringkali sangat memperhatikan dan mengikuti emosinya sendiri. Tetapi
sebaliknya emosi anak-anak justru kurang diperhatikan. Orangtua boleh saja
marah kepada anak, akan tetapi jagalah supaya kemarahan yang dinyatakan dalam
tindakan seperti omelan dan hukuman itu benar-benar tepat untuk perkembangan
jiwa anak. Dengan perkataan lain, marahlah pada saat si anak memang perlu
dimarahi.
Anak-anak
yang sudah mampu berespon secara tepat, adalah anak yang sudah mampu berfikir
dalam mendahulukan kepentingan pribadi. Dan anak seperti ini sudah tinggal
selangkah lagi kepada pemilikan rasa tanggung jawab.
Pada hakekatnya
tanggung jawab itu tergantung kepada kemampuan, janganlah lantas kita
mengatakan bahwa anak yang berusia tujuh tahun itu tidak mempunyai tanggung
jawab, karena tidak menjaga adiknya secara baik, sehingga si adik terjatuh dari
atas tembok. Sesungguhnya anak yang baru berusia tujuh tahun tidak akan mampu
melakukan hal seperti itu. Jelaslah bahwa beban tanggung jawab yang diserahkan
pada seorang anak haruslah disesuaikan dengan tingkat kematangan anak. Untuk
itu dengan sendirinya orangtua merasa perlu untuk lebih jauh mengenal tentang
kemampuan anaknya.
Dalam
memberikan anak suatu informasi tentang hal yang harus dilakukan dan yang tidak
boleh dilakukan adalah sangat penting. Tanpa pengetahuan ini anak tidak bisa
disalahkan bila ia tidak mau melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Namun
untuk sekedar memberitahu secara lisan, seringkali tidak cukup. Orangtua juga
harus bisa menjelaskan dengan contoh bagaimana caranya melakukan hal tersebut,
disamping harus dijelaskan alasan-alasan mengapa hal itu harus dilakukan, atau
tidak boleh dilakukan.
Biasanya
kita cenderung untuk melihat rasa tanggung jawab dari segi- segi yang konkrit,
seperti: apakah tingkah lakunya sopan atau tidak; kamar anak bersih atau tidak;
apakah si anak sering terlambat datang ke sekolah atau tidak; dan sebagainya.
Seorang
anak bisa saja berlaku sopan, datang ke sekolah tepat pada waktunya, tetapi
masih juga membuat keputusan-keputusan yang tidak bertanggungjawab. Contoh
seperti ini seringkali kita jumpai terutama pada anak-anak yang selalu
mendapatkan instruksi atau petunjuk dari orangtua mengenai apa yang mesti
mereka kerjakan, sehingga mereka kurang mendapat kesempatan untuk mengadakan
penilaian sendiri, mengambil keputusan sendiri serta mengembangkan norma-norma
yang ada dalam dirinya.
Rasa
tanggung jawab sejati haruslah bersumber pada nilai-nilai asasi kemanusiaan.
Nilai-nilai tidak dapat diajarkan secara langsung. Nilai-nilai dihirup oleh
anak dan menjadi bagian dari dirinya hanya melalui proses identifikasi, dengan
pengertian lain, anak menyamakan dirinya dengan orang yang ia cintai dan ia
hormati serta berusaha meniru mereka. Contoh hidup yang diberikan orangtua,
akan menciptakan suasana yang diperlukan untuk belajar bertanggung jawab.
Pengalaman-pengalaman konkrit tertentu memperkokoh pelajaran itu, sehingga
menjadi bagian dari watak dan kepribadian anak.
Jadi
jelaslah, bahwa masalah rasa tanggung jawab pada anak, akhirnya kembali pada
orangtuanya sendiri, atau dengan kata lain terpulang pada nilai-nilai dalam
diri orangtua, yaitu seperti tercermin dalam mengasuh dan mendidik anak.
No comments:
Post a Comment