- Pengertian filsafat pendidikan rekonstruksionisme
Kata rekonstruksionisme dalam bahasa ingris reconstruct yang berarti menyusun kembali.[1]dalam konteks filsafat pendidikan aliran rekontruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Yaitu melakukan perombakan dan menyusun kembali pola-pola lama menjadi pola-pola baru yang lebih meodern.[2]
- Teori pendidikan rekonstruksionisme
Teori pendidikan rekonstruksionisme yang dikemukakan oleh brameld terdiri dari Enam tesis,yaitu; [3]
1. Pendidikan
harus dilaksanakan disini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata
sosial baru yang akan mengisi nilai- nilai dasar budaya kita, dan
selaras dengan yang mendasari kekuatan–kekuatan
ekonomi, dan sosial masyarakat modern. sekarang peradaban menghadapi
kemungkinan penghancuran diri. Pendidikan harus meseponsori perubahan
yang benar dalam nurani manusia.oleh karena itu, kekuatan tehnologi yang
sangat kuat harus dimamfaatkan untuk membangun ummat manusia ,bukan
untuk menghancurkannya. Masyarakat harus diubah bukan melalui tidakan
politik, melainkan dengan cara yang sangat mendasar, yaitu melalui
pendidikan bagi warganya, menuju suatu pandangan baru tentang hidup dan
kehidupan mereka bersama.
2. Masyarakat
baru harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati, dimana sumber dan
lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya sendiri.semua
yang mempengaruhi harapan dan hajat masyarakat seperti, sandang, pangan,
papan, kesehatan, industri dan sebagainya, semuanya akan menjadi
tanggung jawab rakyat, melalui wakil-wakil yang dipilih. Masyarakat
ideal adalah masyarakat yang demokrasi. struktur, tujuan, dan
kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan tata aturan baru harus diakui merupakan bagian dari pendapat masyarakat.
3. Anak,
sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya
dan sosial. Menurut rekonstruksionisme, hidup beradap adalah hidup
berkelompok, sehingga kelompok akan memainkan peran yang penting
disekolah. Pendidikan merupakan realisasi dari sosial (social self realization).
Melalui pendidikan indifidu tidak hanya mengembangkan aspek-aspek sifat
sosialnya melaikan juga belajar bagaimana keterlibatannya dalam
perencanaan sosial. Sehingga dari sini kita bisa lihat bahwa rekontruksi
tidak mengabaikan masyarakat yang sangat berperan dalam membentuk
individu.
4. Guru harus meyakini terhadap validitas dan urgensi dirinya dengan cara bijaksana yaitu
dengan memperhatikan prosedur yang demokratis.guru harus mengadakan
pengujian secara terbuka terhadap fakta- fakta, walaupun bertentangan
dengan pandangannya. Guru mendatangkan beberapa pemecahan alternative
dengan jelas, dan ia memperkenankan siswa-siswanya untuk memprtahankan
pandangan-pandangan mereka sendiri.
5. Cara
dan tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan
untuk menemukan kebutuhan –kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya
dewasa ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial. Yang
penting dari sains sosial adalah mendorong kita untuk menemukan nilai-
nilai, dimana manusia peercaya atau tidak bahwa nilai- nilai itu
bersifat universal.
6. Kita harus meninjau kembali penyusunan kurikulum, isis
pelajaran, metode yang dipakai,struktur administrasi, dan cara
bagaimana guru dilatih.semua itu harus dibangun kembali bersesuaian
dengan teori kebutuhan tentang sifat dasar manusia secara rasional dan
ilmiah. Kita harus menyusun kurikulum dimana pokok- pokok dan bagiannya
dihubungkan secara integral, tidak disajikan sebagai suatu sekuensi
komponen pengetahuan.
- Pandangan-pandangan tentang rekontruksionisme
1. Pandangan Ontology
Dengan
antologi dapat mengetahui tentang bagaimana hakekat dari segala
sesuatu, Aliran rekonsrtuksionisme memandang bahwa realita itu bersifat
universal, yang mana realita itu ada dimana dan sama disetiap tempat.
Menurut Noor Syam.[4]Untuk
mengerti suatu realita beranjak dari sesuatu yang kongkrit dan menuju
kearah yang khusus menampakkan diri dalam perwujudan sebagai mana yang
kita lihat dihadapan kita dan ditangkap oleh
panca indra manusia seperti hewan,dan tumbuhan atau bneda lain
disekeliling kita ,dan realita yang kita ketahui dan kita hadapi tidak
terlepas darisuatu system, selain subtansi yang dipunyai dari tiap- tiap
benda tersebut, dan dapat dipilih melalui akal pikiran.
2. Pandangan Epistimologis
kajian
epistimologis aliran ini berpijak pada pola pemikiran bahwa untuk
memahami realita alam nyata memerlukan suatu azaz tahu, dalam arti bahwa
tidak mungkin memahami reaalita ini tampa
melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebuh dahulu
melalui penemuan suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya baik
indra maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahuan, dan akal
dibawa oleh panca indra menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya.
3. Pandangan Ontologis
Barnadib mengungkapkan bahwa aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azas- azas supera natural yakni
menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip
nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi (pancaran ) yang
potensial yang berasal dari dan dipimpin oleh tuhan dan atas dasar
inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya.
Kemudian manusia sebagai subyek telah mempunyai potensi- potensi
kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya.
4. Pandangan Filsafat Rekontruksionisme tentang Pengetahuan
Secara
umum, filsafat Rekontruksionisme merupakan sebuah paham
anti-esensialisme, yang menekankan kepada penciptaan budaya dan sejarah.
Filsafat Rekontruksionisme bertentangan dengan paham universal dan
penjelasan biologis terhadap obyek atau kejadian. Misalnya identitas
merupakan suatu diskursus kontruksionisme yang tidak berkaitan dengan
benda. Artinya, identitas bukan merupakan suatu entitas universal,
melainkan merupakan suatu ciptaan kultural atau secara spesifik
merupakan diskursus yang kontruktif. Bagi filsafat Rekontruksionisme,
yang terpenting adalah pribadi sebagai bentukan budaya, karena pribadi
terbentuk dari materi budaya, seperti bahasa dan praktik budaya lainnya
dalam waktu tertentu dan tempat tertentu pula.
Sementara
ia memandang pengetahuan merupakan proses menjadi, yang pelan-pelan
menjadi lebih lengkap dan benar.Misalnya, pengetahuan siswa tentang
kucing terus berkembang dari pengertian yang sederhana, tidak lengkap,
dan semakin dia dewasa serta mendalami banyak hal tentang kucing,
sehingga pengetahuannya tentang kucing akan semakin lengkap. Contoh lain
misalnya sering terjadi seorang guru sudah berulang-ulang menjelaskan
kepada muridnya suatu bahan pelajaran, namun murid tersebut salah
menangkap. Fenomena ini menguatkan klaim para penganut filsafat
rekonstruktivisme yang menekankan bahwa murid telah mengkonstruksi
(membentuk) sendiri pengetahuan mereka.
Para
penganut Rekontruksionisme berpendapat bahwa pengetahuan itu adalah
merupakan konstruksi dari kita yang sedang belajar. Pengetahuan bukanlah
kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, tetapi
merupakan konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman,
maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada disana
dan orang tinggal mengambilnya, tetapi merupakan suatu bentukan terus
menerus dari seseorang yang setiap kali mengadakan reorganisasi karena
munculnya pemahaman yang baru
Kaum
Rekontruksionisme menyatakan bahwa manusia dapat mengetahui sesuatu
dengan inderanya. Dengan berinteraksi terhadap objek dan lingkungannya
melalui proses melihat, mendengar, menjamah, membau dan merasakan, orang
dapat mengetahui sesuatu. Misalnya, dengan mengamati air, bermain
dengan air, mengoperasikan air, orang membentuk pengetahuan akan air.
Menurut von Glaserfeld, tokoh filsafat Rekontruksionisme di AS,
pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran
seseorang yang mempunyai pengetahuan (guru) ke pikiran orang yang belum
punya pengetahuan (murid). Bahkan bila guru bermaksud untuk mentransfer
konsep, ide dan pengertiannya kepada murid, pemindahan itu harus
diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh murid sendiri dengan
pengalaman mereka.
Von
Glaserfeld menyebutkan beberapa kemampuan yang diperlukan untuk proses
pembentukan pengetahuan itu, seperti (1) kemampuan mengingat dan
mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan dan
mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk
lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lain. Kemampuan
mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman sangat penting karena
pengetahuan dibentuk oleh interaksi dengan pengalaman-pengalaman
tersebut. Kemampuan membandingkan sangat penting untuk dapat menarik
sesuatu sifat yang lebih umum dari pengalaman-pengalaman khusus lalu
dapat melihat kesamaan dan perbedaannya untuk dapat membuat klasifikasi
dan membangun suatu pengetahuan. Karena seseorang lebih menyukai
pengalaman tertentu daripada yang lain maka muncul juga soal nilai dari
pengetahuan yang kita konstruksikan.
Bagi
kaum Rekontruksionisme, pengetahuan bukanlah kenyataan ontologis. Malah
secara ekstrem mereka menyatakan bahwa kita tidak dapat mengerti
realitas (kenyataan) yang sesungguhnya. Yang kita mengerti, bila boleh
disebut suatu realitas, adalah sktruktur konstruksi kita akan suatu
objek. Bettencourt menyatakan memang rekonstruktivisme tidak bertujuan
mengerti realitas, tetapi lebih mau menekankan bagaimana kita tahu atau
menjadi tahu. Bagi rekonstruktivisme, realitas hanya ada sejauh
berhubungan dengan pengamat. Lalu bagaimana dengan soal kebenaran?
Bagaimana kita tahu bahwa pengetahuan yang kita bentuk itu benar?
Rekontruksionisme meletakkan kebenaran dari pengetahuan dalam
viabilitasnya, yaitu berlakunya konsep atau pengetahuan itu dalam
penggunaan. Apakah pengetahuan itu dapat digunakan dalam menghadapi
macam-macam persoalan yang berkaitan. Semakin dalam dan luas suatu
pengetahuan dapat digunakan, semakin luas kebenarannya. Dalam kaitan ini
maka pengetahuan ada tarafnya, mulai dari yang berlaku secara terbatas
sampai yang lebih umum.
Yang
membatasi konstruksi pengetahuan Bettencourt menyebutkan beberapa hal
yang dapat membatasi proses konstruksi pengetahuan, yaitu (1) konstruksi
yang lama, (2) domain pengalaman kita, dan (3) jaringan struktur
kognitif kita. Proses dan hasil konstruksi pengetahuan kita yang lalu
menjadi pembatas konstruksi pengetahuan kita yang mendatang. Pengalaman
akan fenomena yang baru menjadi unsur yang penting dalam pembentukan dan
pengembangan pengetahuan, dan keterbatasan pengalaman akan membatasi
pengetahuan kita pula. Dalam bidang pengetahuan alam, misalnya, sangat
jelas peranan pengalaman dan percobaan-percobaan dalam perkembangan
hukum, teori dan konsep-konsep ilmu tersebut. Konsep, gagasan, gambaran,
teori dan lain-lain saling berhubungan satu dengan yang lain membentuk
struktur kognitif seseorang. Oleh Toulmin struktur itu disebut ekologi
konseptual. Orang cenderung untuk menjaga stabilitas ekologi tersebut
dengan setiap kali mencocokkan pengetahuan yang baru dengan ekologi
konseptual di atas. Inilah yang juga dapat menghambat perkembangan
pengetahuan
- Macam- macam Pendekatan Rekontruksionisme
Pendektan
ini juga disebut Rekontruksi Sosial karena memfokuskan kurikulum pada
masalah-masalah penting yang dihadapi dalam masyarakat, seperti polusi,
ledakan penduduk, dan lain-lain. Dalam gerakan rekontruksionisme
terdapat dua kelompok utama yang sangat berbeda pandangan tentang
kurikulum, yakni :[5]
1. Rekontruksionisme
Koservatif, Aliran ini menginginkan agar pendidikan ditujukan kepada
peningkatan mutu kehidupan individu maupun masyarakat dengan mencari
penyelesaian masalah-masalah yang paling mendesak yang dihadapi
masyarakat. Masalah-masalah dapat bersifat local dan dapat dibicarakan
di SD, ada pula yang bersifat daerah, nasional, regional, dan
internasional bagi pelajar SD dan Perguruan Tinggi. Dalam
PBM-nya metode problem solving memegang peranan utama dengan
menggunakan bahan dari berbagai disiplin ilmu. Peranan guru ialah
sebagai orang yang menganjurkan perubahan (agent of change) mendorong
siswa menjadi partisipan aktif dalam proses perbaikan masyarakat.
Pendekatan kurikulum ini konsisten dengan falsafah pragmatisme.
2. Rekontruksionisme
Radikal, pendektan ini berpendapat bahwa bnyak Negara mengadakan
pembangunan dengan merugikan rakyat kecil yang miskin yang merupakan
mayoritas masyarakat. Elite yang berkuasa mengadakan tekanan terhadap
masa yang tak berdaya melalui system pendidikan yang diatur demi tujuan
itu. Golongan radikal ini menganjurkan agar pendidikan formal maupun
pendidikan non formal mengabdikan diri demi tercapinya orde social baru
berdasarkan pembagian kekuasaan dan kekayaan yang lebih adil dan merata.
Mereka berpendapat bahwa kurikulum yang sekedar mencari pemecahan
masalah social tidak memadai masa social justru merupakan indicator
adanya masalah lain yang lebih mendalam mengenai struktur social baru.
Mereka berpendapat bahwa sekolah yang dikembangkan Negara bersifat
opresif dan tidak humanistic serta digunakan sebagai alat golongan elit
untuk mempertahankan status quo.
Untuk
pendirian saling bertentangan ini, baik yang konservatif maupun yang
radikal mempunyai unsur kesamaan. Masing-masing berpendirian bahwa misi
sekolah, ialah untuk mengubah dan memperbaiki masyarakat. Pemberdayaan
terletak pada definisi atau tafsiran tentang “perbaikan” dan cara
pendektan terhadap masalah itu. Golongan konservatif bekerja dalam
rangka struktur yang ada untuk memperbaiki kualitas hidup.Mereka
berasumsi bahwa masalah-masalah social adalah hasil ciptaan manusia dan
karena itu dapat diatasi oleh manusia. Sebaliknya golongan radikal ingin
merombak tata social yang ada dan menciptakan tata social yang baru
sama sekali untuk memperbaiki system lebih efektif
No comments:
Post a Comment