Hakekat Fenomenologi
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa
dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu
yang mempelajari arti daripada fenomena ini.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728 - 1777), seorang filsuf Jerman. Dalam bukunya Neues
Organon (1764). ditulisnya tentang ilmu yang tak nyata.
Fenomenologi (Inggris :
Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani Phainomenon dan Logos.
Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos
berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara
umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak.
Lorents Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas,
fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak.
Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada
kesadaran kita.
Sebagai sebuah arah baru dalam
filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok
suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode
fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan
fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl.
Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert
(1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala
(fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif
ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).
Immanuel Kant memakai istilah
fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip Pertama Metafisika (1786).
Maksudn Kant adalah untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan
kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan
representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah.
Hegel (1807) memperluas pengertian
fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran,
yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada
pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan
pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat
bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada
pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakan atau
kegejalaan dari pengetahuan inderawi : fenomena-fenomena merupakan manifestasi
konkret dan histories dari perkembangan pikiran manusia.
Edmund Husserl memahami fenomenologi
sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari
semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung : religius, moral,
estetis, konseptual, serta inderawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya
difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse
(kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak
intensional kesadaran, dan tanpa mengandalkan praduga-praduga konseptual dari
ilmu-ilmu empiris.
Fenomenologi merupakan metode dan
filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus
diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari
dan melukiskan ciri-ciri intrinsic fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen
itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari
subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada
“kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus
membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai
filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan
esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian, fenomenologi dapat dijelaskan
sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini
disebabkan benda itu sendiri merupakan objek kesadaran langsung dalam bentuk
yang murni.
Secara umum, pandangan fenomenologi
bisa dilihat pada dua posisi. Pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi
positivisme, dan kedua, ia sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran
kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang fenomena – noumena. Kant
menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakan sesuatu dalam kesadaran,
sedangkan noumena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar
kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal
fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di
luar yang kita kenal.
Husserl menggunakan istilah
fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan
membiarkannya termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita
padanya. Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut
fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cari
dengan realitas. Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari yang esensial
atau eidos (esensi) dari apa yang disebut fenomena dengan cara membiarkan
fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka
(presupposition).
Sebagai reaksi terhadap positivisme,
filsafat fenomenologi berbeda dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan
filsafat positivisme, baik secara ontologis, epistimologis, maupun axiologis.
Dalam tataran ontologism, yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat
positivisme memandang realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri
sendiri, dan dapat dipelajari terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol.
Sebaliknya, filsafat fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam
konteks natural, sehingga menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan
partial.
Dalam tataran epistemologis, filsafat
positivisme menuntut perencanaan penelitian yang rinci, konkret, dan terukur
dari semua variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik yang
spesifik. Tata cara penelitian yang cermat ini kemudian dikenal dengan
penelitian kuantitatif. Teori yang dibangun adalah teori nomothetik, yaitu berdasarkan
pada generalisasi atau dalil-dalil yang berlaku umum. Sebaliknya, filsafat
fenomenologi menuntut pemaknaan dibalik realitas, sehingga perlu keterlibatan
subjek dengan objek, dan subjek bertindak sebagai instrumen untuk mengungkap
makna dibalik suatu realitas menurut pengakuan, pendapat, perasaan, dan kemauan
dari objeknya. Tatacara penelitian seperti ini kemudian dikenal dengan
penelitian kualitatif. Teori yang dibangun adalah teori ideografik, yaitu upaya
memberikan deskripsi cultural, human atau individual secara khusus, artinya
hanya berlaku pada kasus yang diteliti.
Pada tataran axiologis, filsafat
positivisme memandang kebenaran ilmu itu terbatas pada kebenaran empirik
sensual – logic dan bebas nilai. Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui
kebenaran ilmu secara lebih luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual,
kebenaran logic, kebenaran etik, dan kebenaran trancendential. Oleh karena itu,
ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value free), akan
tetapi bermuatan nilai (value bond), tergantung pada aliran etik yang
dianutnya, apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme,
vitalisme, ataukah theologisme atau pandangan filsafat yang lain.
Fenomenologi Sebagai Metode Ilmu
Fenomenologi berkembang sebagai
metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini
dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara terntentu tampil dalam
kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu
yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang paling penting ialah
pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat
mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali. Seorang
fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, pra anggapan serta prasangka,
agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya : “Zu den Sachen Selbst”
(kembali kepada bendanya sendiri).
Tugas utama fenomenologi menurut
Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl,
realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang
mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger,
yang juga seorang fenomenolog, “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan
manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha mencapai pengertian yang sebenarnya
dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada
bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat
segala sesuatu”.
Untuk itu, Husserl mengajukan dua
langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche
dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti
“menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche
bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang
diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar
salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah
benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu,
Husserl menekankan satu hal penting : penundaan keputusan. Keputusan harus
ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi
ontologism atau eksistensial objek kesadaran.
Selanjutnya, menurut Husserl, epoche
memiliki empat macam, yaitu :
1.Method
of historical bracketing : metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan
pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat,
agama maupun ilmu pengetahuan.
2.Method
of exixtensional bracketing : meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap
keputusan atau sikap diam dan menunda.
3.Method
of transcendental reduction : mengolah data yang kita sadari menjadi gejala
yang transcendental dalam kesadaran murni.
4.Method
of eidetic reduction : mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta
tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.
Dengan menerapkan empat metode epoche
tersebut seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang dia
amati.
Fenomenologi terhadap dunia ilmu pengetahuan
Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan
pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting
artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur
metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek
pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European
Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia
kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi
(mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir
positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai
sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya
adalah terjadinya ‘matematisasi alam’ dimana alam dipahami sebagai keteraturan
(angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena
para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula
impersonal.
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang
lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis
tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur
sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari
yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya
secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang
sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu
dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui
begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan
terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia
sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial
mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial,
dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu.
Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan
yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus
memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses
yang menghasilkan dunia kehidupan itu.
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah
deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan
‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun
pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran)
individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek
intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu
benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek
sama-sama terlibat dan menghayati.