1. Islam Dan
Pluralisme
Dalam Islam berteologi secara
inklusif dengan menampilkan wajah agama secara santun dan ramah sangat
dianjurkan. Islam bahkan memerintahkan umat Islam untuk dapat berinteraksi
terutama dengan agama Kristen dan Yahudi dan dapat menggali nilai-nilai
keagamaan melalui diskusi dan debat intelektual/teologis secara bersama-sama
dan dengan cara yang sebaik-baiknya (QS al-Ankabut/29: 46), tentu saja tanpa
harus menimbulkan prejudice atau
kecurigaan di antara mereka.
Karena menurut al-Qur’an
sendiri, sebagai sumber normatif bagi suatu teologi inklusif. Karena bagi kaum
muslimin, tidak ada teks lain yang menempati posisi otoritas mutlak dan tak
terbantahkan selain Alqur’an. Maka, Alqur’an merupakan kunci untuk menemukan
dan memahami konsep persaudaraan Islam-terhadap agama lain---pluralitas adalah salah satu kenyataan objektif
komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah atau Sunnah Allah, sebagaimana firman Allah SWT: “ Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”
(Al Hujurat 49: 13).
Kalu kita membaca dari ayat tersebut, secara kritis
dan penuh keterbukaan, pastilah kita akan menemukan suatu kesimpulan bahwa
Allah SWT sendiri sebenarnya secara tegas telah menyatakan bahwa ada
kemajemukan di muka bumi ini. Perbedaan
laki-laki dan perempuan, perbedaan suku bangsa; ada orang Indonesia,
Jerman, Amerika, orang Jawa, Sunda atau bule, adalah realitas pluralitas yang
harus dipandang secara positif dan optimis. Perbedaan itu, harus diterima
sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar kenyataan itu. Bahkan
kita disuruh untuk menjadikan pluralitas tersebut, sebagai instrumen untuk
menggapai kemuliaan di sisi Allah SWT, dengan jalan mengadakan interaksi sosial
antara individu, baik dalam konteks pribadi atau bangsa.
Kenapa kita diperintah untuk saling mengenal dan
berbuat baik sama orang lain, meskipun berbeda agama, suku dan kulit dan
dilarang untuk memperolok-olok satu sama lain? Jawabannya adalah bahwa hanya
Allah yang tahu dan dapat menjelaskan, di hari akhir nanti, mengapa manusia
berbeda satu dari yang lain, dan mengapa jalan manusia berbeda-beda dalam
beragama: “Untuk masing-masing dari kamu
(umat manusia) telah kami tetapkan Hukum (Syari’ah) dan jalan hidup (minhaj).
Jika Tuhan menghendaki, maka tentulah ia jadikan kamu sekalian umat yang
tunggal (monolitk). Namun Ia jadikan kamu sekalian berkenaan dengan hal-hal
yang telah dikarunia-Nya kepada kamu. Maka berlombalah kamu sekalian untuk
berbagai kebajikan. Kepada Allah-lah
tempat kalian semua kembali; maka Ia akan menjelaskan kepadamu sekalian tentang
perkara yang pernah kamu perselisihkan” (Q.S. Al Maaidah: 48).
Bahkan konsep unity in diversity, dalam Islam telah
diakui keabsahanya dalam kehidupan ini. Untuk mendukung pernyataan ini, kita
dapat melacak kebenaranya dalam perjalanan sejarah yang telah ditunjukkan oleh
al-Qur’an, bahwa Islam telah memberi karaketer positif kepada komunitas
non-Muslim, Ini bisa dilihat, misalnya, dari berbagai istilah eufemisme, mulai
dari ahl al-kitab, shabih bi ah al-kitab,
din Ibrahim sampai dinan hanifan.
Dan secara spesifik, Islam malahan mengilustrasikan karakter para pemuka agama
Kristen sebagai manusia dengan sifat rendah hati (la yastakbirun) serta
pemeluk agama Nasrani sebagai kelompok dengan jalinan emosional (aqrabahum mawaddatan) terdekat dengan
komunitas Muslim (Q.S. Al Maidah: 82).
Dalam kaitannya yang langsung dengan prinsip untuk dapat menghargai
agama lain dan dapat menjalin persahabatan dan perdamaian dengan ‘mereka’
inilah Allah, di dalam al-Qur’an, menegur keras Nabi Muhammad SAW ketika ia menunjukkan
keinginan dan kesediaan yang menggebu untuk memaksa manusia menerima dan
mengikuti ajaran yang disampaikanya, sebagai berikut: “Jika Tuhanmu menghendaki, maka tentunya manusia yang ada di muka bumi
ini akan beriman. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia, di luar kesediaan
mereka sendiri? (Q.S. Yunus: 99).
Dari ayat tersebut
tergambar dengan jelas bahwa persoalan kemerdekaan beragama dan keyakinan
menjadi “tanggungjawab” Allah SWT, dimana kita semua dituntut toleran terhadap
orang yang tidak satu dengan keyakinan kita. Bahkan nabi sendiri dilarang untuk
memaksa orang kafir untuk masuk Islam. Maka dengan begitu, tidaklah dibenarkan
“kita” menunjukkan sikap kekerasan, paksaan, menteror dan menakut-nakuti orang
lain dalam beragama.
Apalagi kalau kita mau
memahami secara benar, bahwa pada dasarnya menurut al-Qur’an, pokok pangkal
kebenaran universal Yang Tunggal itu ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa, atau tauhid. Tugas para Rasul adalah
menyampaikan ajaran tentang tauhid
ini, serta ajaran tentang keharusan manusia tunduk dan patuh hanya kepada-Nya
saja (Q. S. al-Ambiya’: 92) dan justru berdasarkan paham tauhid inilah, al-Qur’an mengajarkan paham kemajemukan keagamaan.
Dalam pandangan teologi Islam, sikap ini menurut Budy Munawar Rahman (2001:
15), dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama yang ada; bahwa
semua agama itu pada mulanya menganut prinsip yang sama, dan persis karena
alasan inilah al-Qur’an mengajak kepada titik pertemuan (kalimatun sawa’): “Katakanlah
olehmu (Muhammad): Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan
(kalimatun sawa’) antara kami dan kamu: yaitu bahwa kita tidak menyembah selain
Allah dan tidak mempersekutukan-Nya kepada apapun, dan bahwa sebagian dari kita
tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah”
(Q.S. al-Maidah: 64).
Implikasi dari kalimatun sawa’ ini menurut Alqur’an adalah: siapapun dapat
memperoleh “keselamatan” asalkan dia beriman kepada Allah, kepada hari
kemudian, dan berbuat baik”. Jadi, dalam prespektif ini, al-Qur’an tidak
mengingkari kasahihan pengalaman transendensi agama, semisal Kristen bukan?
Islam malah mengetahui dan bahkan mengakui daya penyelamatan kaum lain (termasuk Kristen) itu dalam hubunganya
dengan lingkup monoteisme yang lebih luas: “Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan yang beragama Yahudi, Kristen, dan Shabiin, barang siapa dari
mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan mengerjakan amal baik, maka
mereka akan dapat ganjaran dari Tuhan mereka; dan tidak ada ketakutan dan tidak
ada duka cita atas mereka” (Q.S 2: 62).
Hal itu
sejalan dengan ajaran bahwa monoteisme merupakan dogma yang diutamakan dalam
Islam. Monoteisme, yakni percaya kepada Tuhan yang Maha Esa, dipandang jalan
untuk keselamatan manusia. Dalam al-Qur’an ayat 48 dan 116 surah al-Nisa’
menerangkan bahwa Allah tidak mengampuni
dosa orang yang mempersekutukan Tuhan tetapi mengampuni dosa selainya bagi
barang siapa yang dikehendaki Allah. Kedua ayat ini mengandung arti bahwa dosa
dapat diampuni Tuhan kecuali dosa sirk atau politeis. Inilah satu-satunya dosa
yang tak dapat diampuni Tuhan.
Alqur’an, dengan demikian,
sebagaimana ditegaskan oleh Abdulaziz Sachedina dalam bukunya The Islamic Roots of Democratic Pluralism
(2002: 59), adalah jelas memandang dirinya sebagai mata rantai kritis dalam
pengalaman pewahyuan umat manusia—satu jalan universal yang dimaksudkan untuk
semua makhluk. Secara khusus, Islam juga memiliki etos biblikal dan Kristen,
dan Islam memiliki sikap yang luar biasa inklusif terhadap Ahli Kitab, yang
dengan merekalah Islam terhubungkan melalui manusia pertama di muka bumi.
2.
Islam Memerintahkan Untuk Bersikap ‘Toleran’ Kepada Agama lain
Sedangkan secara umum, pandangan Islam terhadap
agama lain (Ahli Kitab—pen) sangat positif dan sangat kontruktif. Hal ini dapat
dilihat dari nilai dan ajarannya yang memberikan peluang dan mendorong kepada
umat Islam untuk dapat melakukan interaksi sosial, kerja sama dengan mereka.
Tentang hal ini, Farid Asaeck (2000: 206-207)), telah menunjukkan bukti-bukti
sebagai berikut; Pertama, Ahli Kitab, sebagai penerima wahyu, diakui sebagai
bagian dari komunitas. Ditujukan kepada semua nabi, al-Qur’an mengatakan: “Dan sungguh inilah umatmu, umat yang satu”
(QS al-Mu’miunun: 52). Sehingga konsep Islam tentang para pengikut Kitab Suci
atau Ahli Kitab yaitu konsep yang memberikan pengakuan tertentu kepada para
penganut agama lain, yang memiliki Kitab Suci dengan memberikan kebebasan
menjalankan ajaran agamanya masing-masing.
Kedua, dalam dua bidang sosial
terpenting, makanan dan perkawinan, sikap murah hati al-Qur’an terlihat jelas,
bahwa makanan “orang-orang yang diberi Alkitab” dinyatakan sebagai sah (halal)
bagi kaum muslim dan makanan kaum muslim sah bagi mereka (QS al-Maidah: 5).
Demikian juga, pria muslim diperkenankan mengawini “wanita suci dari Ahli
Kitab” (QS al-Maidah: 5). Jika kaum Muslim diperkenankan hidup berdampingan
dengan golongan lain dalam hubungan yang seintim hubungan perkawinan, ini
menunjukkan secara eksplisit bahwa permusuhan tidak dianggap sebagai norma
dalam hubungan Muslim-kaum lain.
Ketiga, dalam bidang hukum
agama, norma-norma dan peraturan kaum Yahudi dan Nasrani diakui (QS al-Maidah:
47) dan bahkan dikuatkan oleh Nabi ketika beliau diseru untuk menyelesaikan
perselisihan di antara mereka (QS al-Maidah: 42-43). Keempat, kesucian kehidupan religius penganut agama wahyu lainya
ditegaskan oleh fakta bahwa izin pertama yang pernah diberikan bagi perjuangan
bersenjata dimaksudkan untuk menjamin terpeliharanya kesucian ini, “Dan
sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagai manusia dengan sebagian yang
lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja dan
sinagog-sinagog orang Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak di
sebut nama Allah” (QS al-Hajj: 40).
Perintah Islam agar umatnya bersikap toleran, bukan
hanya pada agama Yahudi dan Kristen, tetapi juga kepada agama-agama lain. Ayat
256 surat al-Baqarah mengatakan bahwa tidak ada paksaan dalam soal agama karena
jalan lurus dan benar telah dapat dibedakan dengan jelas dari jalan salah dan sesat.
Terserahlan kepada manusia memilih jalan yang dikehendakinya. Telah dijelaskan
mana jalan benar yang akan membawa kepada kesengsaraan. Manusia merdeka memilih
jalan yang dikehendakinya. Kemerdekaan ini diperkuat oleh ayat 6 surah
al-Kafirun yang mengatakan: Bagimulah
agamamu dan bagiku agamaku.
Demikianlah beberapa prinsip dasar al-Qur’an yang
berkaitan dengan masalah pluralisme dan anjuran untuk dapat menunjukkan sikap
saling menghormati, ramah dan bersahabat dengan agama Kristen, secara khusus. Dengan
begitu, jauh-jauh hari, al-Qur’an sesungguhnya telah mensinyalir akan munculnya
bentuk “truth claim” (Abdullah, 1999:
68). Baik itu dalam wilayah intern umat beragama maupun wilayah antar-umat
beragama. Kedua-duanya, sama-sama tidak favourable
dan tidak kondusif bagi upaya membangun tata pergaulan masyarakat pluralistik
yang sehat.
Paling tidak, dalan dataran konseptual, al-Qur’an
telah memberi resep atau arahan-arahan yang sangat diperlukan bagi manusia
Muslim untuk memecahkan masalah kemanusiaan universal, yaitu realitas
pluralitas keberagamaan manusia dan menuntut supaya bersikap toleransi terhadap
kenyataan tersebut demi tercapainya perdamaian di muka bumi. Karena Islam
menilai bahwa syarat untuk membuat keharmonisan adalah pengakuan terhadap
komponen-komponen yang secara alamiah berbeda.
Dengan begitu, dapat pula dikatakan konsepsi
pluralisme dalam Islam sudah terbawa pada misi awal agama ini diturunkan, yakni
membawa kasih terhadap seluruh alam tanpa batas-batas atau benturan-benturan
dimensi apapun. Semua orang yang mengaku Islam haruslah menunjukkan sikap saling
“mengasihi” kepada sesama manusia. Karena seseorang bisa disebut sebagai
seorang muslim, menurut kanjeng nabi adalah Al-Muslimu
man salima Al-muslimuna min lisanihi wa yadihi. Maksudnya adalah seorang
muslim yang senantiasa menebarkan sikap damai dan rasa aman dihati
masyarakatnya.
3. Kegagalan Pendidikan Agama
Berangkat dari kesadaran adanya fenomena bahwa “satu
Tuhan, banyak agama” merupakan fakta dan realitas yang dihadapi manusia
sekarang. Maka, manusia sekarang harus didorong menuju kesadaran bahwa
pluralisme memang sungguh-sungguh fitrah kehidupan manusia.
Mendorong setiap orang untuk dapat menghargai
“keanekaragaman” adalah sangat penting segera dilakukan, terutama sekali di
negara Indonesia yang pluralistik ini. Dampak krisis multi-dimensional yang
melandanya, menyebabkan bangsa Indonesia menghadapi berbagai problem sosial.
Salah satu problem besar dimana peran agama menjadi sangat dipertanyakan adalah
konflik etnis, kultur dan religius, atau yang lebih dikenal dengan SARA.
Kegagalan agama dalam memainkan perannya sebagai
problem solver bagi persoalan SARA erat kaitanya dengan pengajaran agama secara
eklusif. Maka, agar bisa keluar dari kemelut yang mendera bangsa Indonesia
terkait persoalan SARA, adalah sudah saatnya bagi bangsa Indonesia untuk
memunculkan wajah pendidikan agama yang inklusif dan humanis.
Pada
tataran teologis, dalam pendidikan agama perlu mengubah paradigma teologis yang
pasif, tektualis, dan eklusif. Menuju
teologi yang saling menghormati, saling mengakui eksistensi, berfikir dan
bersikap positif, serta saling memperkaya iman. Hal ini dengan tujuan untuk
membangun interaksi umat beragama dan antarumat beragama yang tidak hanya
berkoeksistensi secara harmonis dan damai, tetapi juga bersedia aktif dan
pro-aktif kemanusiaan.
Sebenarnya
masyarakat Indonesia telah lama akrab dengan diktum Bhinneka Tunggal Ika. Namun
sayangnya, konsep ini telah mengalami pemelintiran makna dan bias interpretasi,
terutama sepanjang pemerintahan Orde Baru. Kebijakan sosial-politik saat itu
cenderung uniformistik, sehingga tampaknya budaya milik kelompok dominanlah
yang diajarkan dan disalurkan oleh sekolah dari satu generasi kepada generasi
lainya.
Selain
itu, Kautsar Azhari Noer (2001) menyebutkan, paling tidak ada empat faktor
penyebab kegagalan pendidikan agama dalam menumbuhkan pluralisme. Pertama,
penekananya pada proses transfer ilmu agama ketimbang pada proses transformasi
nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik; kedua, sikap bahwa
pendidikan agama tidak lebih dari sekedar sebagai “hiasan kurikulum” belaka,
atau sebagai “pelengkap” yang dipandang sebelah mata; ketiga, kurangnya
penekanan pada penanaman nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antaragama,
seperti cinta, kasih sayang, persahabatan, suka menolong, suka damai dan
toleransi; dan keempat, kurangnya perhatian untuk perhatikan untuk mempelajari
agama-agama lain (Noer dalam Sumartana, 2001: 239-240).
Melihat
realitas tersebut, bahkan ditambah dengan adanya banyak konflik, kekerasan, dan
bahkan kekejaman yang dijalankan atas nama agama, sebagaimana tersebut di atas,
seharusnyalah yang menjadi tujuan refleksi atas pendidikan agama adalah mampu
melakukan transformasi kehidupan beragama itu sendiri dengan melihat sisi
ilahi dan sosial-budayanya. Pendidikan
agama harus mampu menanamkan cara hidup yang lebih baik dan santun kepada
peserta didik. Sehingga sikap-sikap seperti saling menghormati, tulus, dan
toleran terhadap keanekaragaman agama dan budaya dapat tercapai di
tengah-tengah masyarakat plural.
4. Perlunya Pendidikan Pluralisme
Dengan
menyadari bahwa masyarakat kita terdiri dari banyak suku dan beberapa agama,
jadi sangat pluralis. Maka, pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak
diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan
suatu masyarakat dan memindahkanya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan
tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras,
dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan
dan dialog. Bentuk pendidikan seperti inilah yang banyak ditawarkan oleh
“banyak ahli” dalam rangka mengantisipasi konflik keagamaan dan menuju
perdamaian abadi, yang kemudian terkenal dengan sebutan “pendidikan
pluralisme”.
Apakah sebenarnya pendidikan pluralisme itu? Kalau
kita melacak referensi tentang pendidikan pluralisme, banyak sekali literatur mengenai
pendidikan tersebut atau sering dikenal orang dengan sebutan “pendidikan
multikultural”. Namun literatur-literatur tersebut menunjukkan adanya keragaman
dalam pengertian istilah. Sleeter (dalam Burnet, 1991: 1) mengartikan
pendidikan multikultural sebagai any set
of proces by which schools work with rather than against oppressed group. Banks, dalam bukunya Multicultural education: historical development, dimension, and
practice (1993) menyatakan bahwa meskipun tidak ada konsensus tentang itu
ia berkesimpulan bahwa di antara banyak pengertian tersebut maka yang dominan
adalah pengertian pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color.
Lebih
jelasnya, menariklah kalau kita memperhatikan suatu defenisi tentang pendidikan pluralisme yang disampaikan Frans
Magnez Suseno (dalam Suara Pembaharuan, 23 September, 2000), yaitu suatu
pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka visi pada cakrawala yang
semakin luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama
kita sehingga kita mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang
memiliki baik perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan
nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan solidaritas.
Senada dengan itu, Ainurrofiq Dawam menjelaskan
defenisi pendidikan multikultural sebagai proses pengembangan seluruh potensi
manusia yang menghargai pluralitas dan
heterogenitasnya sebagai konsekuensi
keragaman budaya etnis, suku, dan aliran (agama). Pengertian pendidikan
multikultural yang demikian, tentu mempunyai implikasi yang sangat luas dalam
pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri secara umum dipahami sebagai proses
tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian , pendidikan
multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya
terhadap harkat dan martabat manusia darimana pun dia datangnya dan berbudaya
apa pun dia. Harapanya, sekilas adalah terciptanya kedamaian yang sejati,
keamanan yang tidak dihantui kecemasan, kesejahteraan yang tidak dihantui manipulasi, dan
kebahagiaan yang terlepas dari jaring-jaring manipulasi rekayasa sosial.
Muhammad Ali (dalam Kompas, 26 April 2002) menyebut
pendidikan yang berorientasi pada proses penyadaran yang berwawasan pluralis
secara agama sekaligus berwawasan multikultural, seperti itu, dengan sebutan
“pendidikan pluralis multikultural”. Menurutnya, pendidikan semacam itu harus dilihat sebagai
bagian dari upaya komprehensif mencegah dan menaggulangi konflik etnis agama,
radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa, sedangkan nilai dasar
dari konsep pendidikan ini adalah toleransi.
Memperhatikan beberapa defenisi tentang pendidikan
pluralisme tersebut di atas, secara sederhana dapatlah pendidikan pluralisme
didefenisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman keagamaan dan
kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Pendidikan disini,
dituntut untuk dapat merespon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah,
sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.
5. Kurikulum Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kemajemukan
Pendidikan
adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan, karena itu
perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang memang seharusnya
terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Perbaikan pendidikan pada
semua tingkat perlu terus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan.
Pemikiran ini mengandung konsekuensi bahwa penyempurnaan atau perbaikan
kurikulum pendidikan agama Islam adalah untuk mengantisipasi kebutuhan dan
tantangan masa depan dengan diselaraskan terhadap perkembangan kebutuhan dunia
usaha atau industri, perkembangan dunia kerja, serta perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan
Sebagaimana disebut di atas,
bahwa konsep pendidikan pluralisme adalah pendidikan yang berorientasi pada
realitas persoalan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia dan umat manusia
secara keseluruhan. Pendidikan
pluralisme digagas dengan semangat besar
“untuk memberikan sebuah model pendidikan
yang mampu menjawab tantangan masyarakat pasca modernisme”.
Melihat realitas tersebut,
maka disinilah letak pentingnya menggagas pendidikan Islam berbasis pluralisme
dengan menonjolkan beberapa karakter
sebagai berikut; pertama pendidikan
Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga pendidikan umum yang bercirikan
Islam. Artinya, di samping menonjolkan pendidikannya dengan penguasaan atas
ilmu pengetahuan, namun karakter keagamaan juga menjadi bagian integral dan
harus dikuasai serta menjadi bagian dari kehidupan siswa sehari-hari. Tentunya,
ini masih menjadi pertanyaan, apakah sistem pendidikan seperti ini betul-betul
mampu membongkar sakralitas ilmu-ilmu keagamaan dan dikhotomi keilmuan antara
ilmu pengetahuan umum dan ilmu keagamaan.
Kedua ; Pendidikan Islam juga harus mempunyai karakter sebagai pendidikan yang
berbasis pada pluralitas. Artinya, bahwa pendidikan yang diberikan kepada siswa
tidak menciptakan suatu pemahaman yang tunggal, termasuk di dalamnya juga
pemahaman tentang realitas keberagamaan.
Kesadaran pluralisme merupakan suatu keniscayaan yang harus disadari
oleh setiap peserta didik. Tentunya, kesadaran tersebut tidak lahir begitu
saja, namun mengalami proses yang sangat panjang, sebagai realitas pemahaman
yang komprehenship dalam melihat suatu
fenomena.
Ketiga;
Pendidikan Islam harus mempunyai karakter sebagai lembaga pendidikan yang
menghidupkan sistem demokrasi dalam pendidikan. Sistem pendidikan yang
memberikan keluasaan pada siswa untuk mengekspresikan pendapatnya secara bertanggung jawab. Sekolah memfasilitasi adanya “mimbar bebas”,
dengan meberikan kesempatan kepada semua civitas untuk berbicara atau
mengkritik tentang apa saja, asal bertanggung jawab. Tentunya, sistem demokrasi
ini akan memberikan pendidikan pada siswa tentang realitas sosial yang
mempunyai pandangan dan pendapat yang berbeda. Di sisi yang lain, akan
membudayakan “reasoning” bagi civitas di lembaga pendidikan Islam.
Perlunya membentuk
pendidikan Islam berbasis pluralisme tersebut, sekali lagi merupakan suatu
inisiasi yang lahir dari realitas sejarah pendidikan khususnya di Indonesia
yang dianggap gagal dalam membangun citra kemanusiaan. Dimana umumnya,
pendidikan umum hanya mencetak orang-orang yang pinter namun tidak mempunyai
integritas keilmuan dan akhlaq ilmuan. Ini yang kemudian melahirkan para
koruptor yang justru menjadi penyakit dan menyengsarakan bangsa ini. Di satu
sisi, pendidikan agama yang ada hanya menciptakan ahli agama yang cara
berpikirnya parsial dan sempit. Akhirnya,
semakin banyak orang pinter ilmu agama semakin kuat pertentangan dan
konflik dalam kehidupan. Inilah sistem pendidikan yang gagal dalam menciptakan
citra kemanusiaan.
Untuk merealisasikan
cita-cita pendidikan yang mencerdaskan seperti tersebut, lembaga pendidikan
Islam perlu menerapkan sistem pengajaran yang berorientasi pada penanaman
kesadaran pluralisme dalam kehidupan. Adapun beberapa program pendidikan yang
sangat strategis dalam menumbuhkan kesadaran pluralisme adalah: pendidikan sekolah harus membekali para
mahasiswa atau peserta didik dengan kerangka (frame work) yang memungkinkannya menyusun dan memahami pengetahuan
yang diperoleh dari lingkunganya (UNESCO, 1981).
Karena masyarakat kita majemuk, maka kurikulum PAI
yang ideal adalah kurikulum yang dapat menunjang proses siswa menjadi manusia
yang demokratis, pluralis dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk
menjadi manusia yang utuh, yaitu
generasi muda yang tidak hanya pandai tetapi juga bermoral dan etis, dapat
hidup dalam suasana demokratis satu dengan lain, dan menghormati hak orang
lain.
Selain itu, perlu kiranya memperhatikan kurikulum
sebagai proses. Ada empat hal yang perlu diperhatikan guru dalam mengembangkan
kurikulum sebagai proses ini, yaitu; (1) posisi siswa sebagai subjek dalam
belajar, (2) cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya,
(3) lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behaviour kultur siswa, (4)
lingkungan budaya siswa adalah sumber belajar (Hamid, op cit: 522). Dalam konteks deskriptif ini, kurikulum
pendidikan mestilah mencakup subjek
seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama:
bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokrasi dan
pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
Bentuk kurikulum dalam pendidikan agama Islam
hendaknya tidak lagi ditujukan pada siswa secara individu menurut agama yang
dianutnya, melainkan secara kolektif dan berdasarkan kepentingan bersama. Bila
selama ini setiap siswa memperoleh pelajaran agama sesuai dengan agamanya, maka
diusulkan agar lebih baik bila setiap siswa SLTP-PT memperoleh materi agama
yang sama, yaitu berisi tentang sejarah pertumbuhan semua agama yang berkembang
di Indonesia. Sedangkan untuk SD diganti dengan pendidikan budi pekerti yang
lebih menanamkan nilai-nilai moral kemanusiaan dan kebaikan secara universal.
Dengan materi seperti itu, di samping siswa dapat menentukan agamanya sendiri
(bukan berdasarkan keturunan), juga dapat belajar memahami pluralitas
berdasarkan kritisnya, mengajarkan keterbukaan, toleran, dan tidak eklusif,
tapi inklusif (Darmaningtyas, 1999: 165).
Amin Abdullah (2001: 13-16) menyarankan “perlunya
rekontruksi pendidikan sosial-keagamaan untuk memperteguh dimensi kontrak
sosial-keagamaan dalam pendidikan agama”. Dalam hal ini, kalau selama ini
praktek di lapangan, pendidikan agama Islam masih menekankan sisi keselamatan
yang dimiliki dan didambakan oleh orang lain di luar diri dan kelompoknya
sendiri—jadi materi pendidikan agama lebih berfokus dan sibuk mengurusi urusan
untuk kalangan sendiri (individual atau
private affairs). Maka, pendidikan
agama Islam perlu direkontruksi kembali, agar lebih menekankan proses edukasi
sosial, tidak semata-mata individual dan untuk memperkenalkan konsep social-contract. Sehingga pada diri
peserta didik tertanam suatu keyakinan, bahwa kita semua sejak semula memang
berbeda-beda dalam banyak hal, lebih-lebih dalam bidang akidah, iman, credo,
tetapi demi untuk menjaga keharmonisan, keselamatan, dan kepentingan kehidupan
bersama, mau tidak mau, kita harus rela untuk menjalin kerjasama (cooperation)
dalam bentuk kontrak sosial antar sesama kelompok warga masyarakat.
Pendek kata, agar maksud dan tujuan pendidikan agama
Islam berbasis pluralisme dapat tercapai, kurikulumnya harus didesain
sedemikian rupa dan favourable untuk
semua tingkatan dan jenjang pendidikan.
Namun demikain, pada level sekolah dasar dan menengah adalah paling penting,
sebab pada tingkatan ini, sikap dan perilaku peserta didik masih siap dibentuk.
Dan perlu diketahui, suatu kurikulum tidak dapat diimplementasikan tanpa adanya
keterlibatan, pembuatan dan kerjasama secara langsung antara para pembuat
kurikulum, penulis text book dan
guru.
Langkah-langkah yang perlu diperhatikan oleh pembuat
kurikulum, penulis text book dan guru untuk mengembangkan kurikulum PAI berbasis
pluralisme di Indonesia, adalah sebagai berikut; Pertama, mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam
seperti saat ini kepada filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan
fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan. Untuk tingkat dasar,
filosofi konservatif seperti esensialisme dan perenialisme haruslah dapat
diubah ke filosofi yang lebih menekankan pendidikan sebagai upaya mengembangkan
kemampuan kemanusiaan peserta didik baik sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat bangsa, dan dunia. Filosofi kurikulum yang progresif seperti
humanisme, progresifme, dan rekontruksi sosial dapat dijadikan landasan
pengembangan kurikulum.
Kedua, teori kurikulum tentang konten (curriculum content) haruslah berubah dari teori yang mengartikan
konten sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori, generalisasi
kepada pengertian yang mencakup pula nilai, moral, prosedur, dan ketrampilan
yang harus dimiliki generasi muda.
Ketiga, teori belajar yang digunakan dalam kurikulum masa
depan yang memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidak
boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi belajar yang bersifat
individualistik dan menempatkan siswa dalam suatu kondisi value free, tetapi harus pula didasarkan pada teori belajar yang
menempatkan siswa sebagai makhluk sosial, budaya, politik, dan hidup sebagai
anggota aktif masyarakat, bangsa, dan dunia.
Keempat, proses belajar yang dikembangkan untuk siswa
haruslah pula berdasarkan proses yang memiliki tingkat isomorphism yang tinggi dengan kenyataan sosial. Artinya, proses
belajar yang mengandalkan siswa belajar individualistis harus ditinggalkan dan
diganti dengan cara belajar berkelompok dan bersaing secara kelompok dalam
suatu situasi positif. Dengan cara demikian maka perbedaan antar-individu dapat
dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan siswa terbiasa hidup dengan
berbagai keragaman budaya, sosial, intelektualitas, ekonomi, dan aspirasi
politik.
Kelima, evaluasi yang digunakan haruslah
meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai
dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi yang digunakan
haruslah beragam sesuai dengan sifat tujuan dan informasi yang ingin
dikumpulkan. Penggunaan alternatif assesment (portfolio, catatan, observasi,
wawancara) dapat digunakan.
Di samping perlunya memperhatikan langkah-langkah itu,
untuk menuju sebuah PAI yang menghargai pluralisme, sebenarnya selain aspek
kurikulum yang harus didesain, sebagaimana telah penulis uraikan, aspek
pendekatan dan pengajaran. Pola-pola lama dalam pendekatan atau pengajaran
agama harus segera dirubah dengan model baru yang lebih mengalir dan
komunikatif. Aspek perbedaan harus menjadi titik tekan dari setiap pendidik.
Pendidik harus sadar betul bahwa masing-masing peserta didik merupakan “manusia
yang unik” (human uniqe), karena itu
tidak boleh ada penyeragaman-peyeragaman. Dalam prespektif ini, pendidikan agama Islam yang memberikan materi
kajian perbandingan agama dan nilai-nilai prinsip Islam seperti; toleransi,
keadilan, kebebasan dan demokrasi—untuk memperoleh suatu pemahaman di antara
orang-orang yang berbeda iman itu—adalah sebuah keniscayaan.
6.
Menampilkan Islam Toleran Melalui Kurikulum
Mengembangkan sikap
pluralisme pada peserta didik di era sekarang ini, adalah mutlak segera
“dilakukan” oleh seluruh pendidikan agama di Indonesia demi kedamaian sejati.
Pendidikan agama Islam perlu segera menampilkan ajaran-ajaran Islam yang toleran melalui kurikulum pendidikanya
dengan tujuan dan menitikberatkan pada pemahaman dan upaya untuk bisa hidup
dalam konteks perbedaan agama dan budaya, baik secara individual maupun secara
kolompok dan tidak terjebak pada primordialisme dan eklusifisme kelompok agama
dan budaya yang sempit. Sehingga sikap-sikap pluralisme itu akan dapat ditumbuhkembangkan
dalam diri generasi muda kita melalui dimensi-dimensi pendidikan agama dengan
memperhatikan hal-hal seperti berikut:
- Pendidikan agama seperti fiqih, tafsir tidak harus bersifat
linier, namun menggunakan pendekatan muqaron.
Ini menjadi sangat penting, karena anak tidak hanya dibekali pengetahuan
atau pemahaman tentang ketentuan hukum dalam fiqih atau makna ayat yang
tunggal, namun juga diberikan
pandangan yang berbeda. Tentunya, bukan sekedar mengetahui yang berbeda,
namun juga diberikan pengetahuan tentang mengapa bisa berbeda.
- Untuk mengembangkan kecerdasan sosial, siswa juga harus diberikan
pendidikan lintas agama. Hal ini dapat dilakukan dengan program dialog
antar agama yang perlu diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Islam .
Sebagai contoh, dialog tentang “puasa” yang bisa menghadirkan para bikhsu
atau agamawan dari agama lain. Program ini menjadi sangat strategis,
khususnya untuk memberikan pemahaman kepada siswa bahwa ternyata puasa itu
juga menjadi ajaran saudara-saudara kita yang beragama Budha. Dengan
dialog seperti ini, peserta didik diharapkan akan mempunyai pemahaman
khususnya dalam menilai keyakinan saudara-saudara kita yang berbeda agama.
karena memang pada kenyataanya “Di Luar Islampun Ada Keselamatan”.
- Untuk memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga-lembaga
pendidikan Islam bukan hanya sekedar menyelenggarakan dialog antar agama,
namun juga menyelenggarakan program road
show lintas agama. Program road
show lintas agama ini adalah program nyata untuk menanamkan kepedulian
dan solidaritas terhadap komunitas agama lain. Hal ini dengan cara
mengirimkan siswa-siswa untuk ikut kerja bhakti membersihkan gereja,
wihara ataupun tempat suci lainnya. Kesadaran pluralitas bukan sekedar
hanya memahami keberbedaan, namun juga harus ditunjukkan dengan sikap
konkrit bahwa diantara kita sekalipun berbeda keyakinan, namun saudara dan
saling membantu antar sesama.
- Untuk menanamkan kesadaran spiritual, pendidikan Islam perlu
menyelenggarakan program seperti spiritual
work camp (SWC), hal ini bisa dilakukan dengan cara mengirimkan siswa
untuk ikut dalam sebuah keluarga selama beberapa hari, termasuk
kemungkinan ikut pada keluarga yang berbeda agama. Siswa harus melebur
dalam keluarga tersebut. Ia juga harus melakukan aktifitas sebagaimana
aktifitas keseharian dari keluarga tersebut. Jika keluarga tersebut
petani, maka ia harus pula membantu keluarga tersebut bertani dan
sebagainya. Ini adalah suatu program yang sangat strategis untuk
meningkatkan kepekaan serta solidaritas sosial. Pelajaran penting lainnya,
adalah siswa dapat belajar bagaimana memahami kehidupan yang beragam.
Dengan demikian, siswa akan mempunyai kesadaran dan kepekaan untuk
menghargai dan menghormati orang lain.
- Pada bulan Ramadhan, adalah bulan yang sangat strategis untuk
menumbuhkan kepekaaan sosial pada anak didik. Dengan menyelenggarakan “program sahur on the road”,
misalnya. Karena dengan program ini, dapat dirancang sahur bersama antara siswa dengan
anak-anak jalanan. Program ini juga memberikan manfaat langsung kepada
siswa untuk menumbuhkan sikap kepekaan sosial, terutama pada orang-orang
di sekitarnya yang kurang mampu.
Selain beberapa hal di atas, perlu kiranya
mengajarkan materi Aqidah Inklusif.
Sebagaimana telah banyak
diketahui umat Islam, aqidah berasal dari bahasa Arab yang berarti
“kepercayaan”, maksudnya ialah hal-hal yang diyakini oleh orang-orang beragama.
Dalam Islam, aqidah selalu berhubungan dengan iman. Aqidah adalah ajaran
sentral dalam Islam dan menjadi inti risalah Islam melalui Muhammad. Tegaknya
aktivitas keislaman dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang dapat
menerangkan bahwa orang itu memiliki akidah. Masalahnya karena iman itu bersegi
teoritis dan ideal yang hanya dapat diketahui dengan bukti lahiriah dalam hidup
dan kehidupan sehari-hari, terkadang menimbulkan “problem” tersendiri ketika
harus berhadapan dengan “keimanan” dari orang yang beragama lain. Apalagi
persoalan iman ini, juga merupakan inti bagi semua agama, jadi bukan hanya
milik Islam saja. Maka, tak heran jika kemudian muncul persoalan truth claim dan salvation claim diantara agama-agama, yang sering berakhir dengan
konflik antar agama.
Untuk mengatasi persoalan
seperti itu, pendidikan agama Islam melalui ajaran aqidahnya, perlu menekankan
pentingnya “persaudaraan” umat beragama. Pelajaran aqidah, bukan sekedar
menuntut pada setiap peserta didik untuk menghapal sejumlah materi yang
berkaitan denganya, seperti iman kepada Allah swt, nabi Muhamad saw, dll.
Tetapi sekaligus, menekankan arti pentingya penghayatan keimanan tadi dalam
kehidupan sehari-hari. Intinya, aqidah harus berbuntut dengan amal perbuatan
yang baik atau akhlak al-Karimah pada
peserta didik. Memiliki akhlak yang baik pada Tuhan, alam dan sesama umat
manusia.
Pendidikan Islam harus
sadar, bahwa kerusuhan-kerusuhan bernuasan SARA seperti yang sering terjadi di
Indonesia ini adalah akibat ekspresi keberagamaan yang salah dalam masyarakat
kita, seperti ekspresi keberagamaan yang masih bersifat ekslusif dan monolitik
serta fanatisme untuk memonopoli kebenaran secara keliru. Celakanya, ekspresi
keagamaan seperti itu merupakan hasil dari “pendidikan agama”. Pendidikan agama
dipandang masih banyak memproduk manusia yang memandang golongan lain (tidak
seakidah) sebagai musuh. Maka di sinilah
perlunya menampilkan pendidikan agama yang fokusnya adalah bukan semata
kemampuan ritual dan keyakinan tauhid, melainkan juga akhlak sosial dan
kemanusiaan.
Pendidikan agama, merupakan
sarana yang sangat efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah
inklusif pada peserta didik. Perbedaan agama di antara peserta didik bukanlah
menjadi penghalang untuk bisa bergaul dan bersosialisasi diri. Justru
pendidikan agama dengan peserta didik berbeda agama, dapat dijadikan sarana
untuk menggali dan menemukan nilai-nilai keagamaan pada agamanya masing-masing
sekaligus dapat mengenal tradisi agama orang lain.
Target kurikulum Agama Islam harus berorientasi pada akhlak. Bahkan
dalam pengajaran akidahnya, kalau perlu semua peserta didik disuruh merasakan
jadi orang yang beragama lain atau atheis sekalipun. Tujuanya adalah bukan
untuk “konfersi”, melainkan dalam rangka agar mereka mempertahankan iman.
Sebab, akidah itu harus dipahami sendiri, bukan dengan cara taklid, taklid
tidak dibenarkan dalam persoalan akidah. Selain itu, pada masalah-masalah
syari’ah. Dalam persoalan syariah, sering umat Islam juga berbeda pendapat dan
bertengkar. Maka dalam hal ini pendidikan Islam perlu . memberikan pelajaran
“fiqih muqarran”untuk memberikan penjelasan adanya perbedaan pendapat dalam
Islam dan semua pendapat itu sama-sama memiliki argumen, dan wajib bagi kita
untuk menghormati. Sekolah tidak menentukan salah satu mazhab yang harus
diikuti oleh peseta didik, pilihan mazhab terserah kepada mereka
masing-masing.
Melalui suasana pendidikan
seperti itu, tentu saja akan terbangun suasana saling menenami dalam kehidupan
beragama secara dewasa, tidak ada perbedaan yang berarti diantara
“perbedaan”manusia yang pada realitasnya memang berbeda. Tidak dikenal superior
ataupun inferior, serta memungkinkan terbentuknya suasana dialog yang
memungkinkan untuk membuka wawasan spritualitas baru tentang keagamaan dan
keimanan masing-masing.
Pendidikan Islam harus
memandang “iman”, yang dimiliki oleh setiap pemeluk agama, bersifat dialogis
artinya iman itu bisa didialogkan antara Tuhan dan manusia dan antara sesama
manusia. Iman merupakan pengalaman kemanusiaan ketika berintim dengan-Nya
(dengan begitu, bahwa yang menghayati dan menyakini iman itu adalah manusia,
dan bukanya Tuhan), dan pada tingkat tertentu iman itu bisa didialogkan oleh
manusia, antar sesama manusia dan dengan menggunakan bahasa manusia.
Tujuan untuk menumbuhkan
saling menghormati kepada semua manusia yang memiliki iman berbeda atau mazhab
berbeda dalam beragama, salah satunya bisa diajarkan lewat pendidikan akidah
yang inklusif. Dalam pembelajaranya, tentu saja memberikan perbandingan dengan
akidah yang dimiliki oleh agama lain (perbandingan agama). Meminjam bahasanya
Alex Roger (1982: 61-62), pendidikan akidah seperti itu mensyaratkan adanya fairly and sensitively dan bersikap
terbuka (open minded). Tentu saja,
pengajaran agama seperti itu, sekaligus menuntut untuk bersikap “objektif”
sekaligus “subjektif”. Objektif,
maksudnya sadar bahwa membicarakan banyak iman secara fair itu tanpa harus
meminta pertanyaan mengenai benar atau validnya suatu agama. Subjektif berarti
sadar bahwa pengajaran seperti itu sifatnya hanyalah untuk mengantarkan setiap
peserta didik memahami dan merasakan sejauh mana keimana tentang suatu agama
itu dapat dirasakan oleh orang yang mempercayainya.
Melalui pengajaran akidah
inklusif seperti itu, tentu saja bukan untuk membuat suatu kesamaan pandangan,
apalagi keseragaman, karena hal itu adalah sesuatu yang absurd dan agak
mengkhianati tradisi suatu agama. yang dicari adalah mendapatkan titik-titik
pertemuan yang dimungkinkan secara teologis oleh masing-masing agama. setiap
agama mempunyai sisi ideal secara filosofis dan teologis, dan inilah yang
dibanggakan penganut suatu agama, serta yang akan menjadikan mereka tetap
bertahan, jika mereka mencari dasar rasional atas keimanan mereka. Akan tetapi,
agama juga mempunyai sisi real, yaitu suatu agama menyejarah dengan keagungan
atau kesalahan-kesalahan yang biasa dinilai dari sudut pandang sebagai sesuatu
yang memalukan. Oleh karena itu, suatu dialog dalam perbandingan agama harus
selalu mengandalkan kerendahan hati untuk membandingkan konsep-konsep ideal
yang dimiliki agama lain yang hendak dibandingkan, dan realitas agama—baik yang
agung atau yang memalukan—dengan realitas agama lain yang agung atau memalukan
itu dengan demikian, akan dapat terhindar dari suatu penilai stndar ganda dalam
melihat agama lain.